Tangis bahagia memecah keheningan aula pertemuan SMP Metisnew. Beberapa anak berseragam biru putih saling berpelukan, meneteskan air mata penuh keharuan. Beberapa anak lainnya asyik berselfi ria dengan kamera terbang yang mengambang dua meter di udara. Ada juga yang lebih memilih bercakap-cakap dengan teman-teman karibnya, menikmati suasana SMP untuk terakhir kali.
Aku hanya bisa menikmati momen bahagia bercampur sedih ini dari pinggir ruangan, berdiri, bersandar ke tembok aula pertemuan. Di depanku, seratus lulusan SMP Metisnew angkatan 85 saling berbagi momen untuk terakhir kalinya. Ya, ini adalah acara kelulusan kami. Acara yang juga menjadi awal kehidupan dewasa kami.
"Hei Azad!" salah satu temanku menghampiri.
Aku menoleh, mendapati temanku sudah ikut bersandar ke tembok. "Oh Ramsid. Kau tidak ikut mengabadikan momen seperti yang lain?"
"Ah, aku terlalu malas untuk melakukan itu. Mereka hanya membuatku iri dengan kamera terbang super canggih yang berseliweran di atas kepala kita." Ramsid terdiam, dia menoleh, menatapku. "Lalu, bagaimana denganmu? Kenapa kau tidak ikut? Bukannya kau juga punya kamera terbang yang bahkan lebih canggih dari yang teman-teman miliki?"
Seperti yang kuduga. Ramsid pasti akan membalikan pertanyaan yang kutanyakan. Itu sudah seperti tabiatnya sebagai salah satu orang jenius di sekolah. Bahkan, kadang kala Ramsid akan mencecar balik penanya dengan belasan pertanyaan yang mungkin tidak habis kalaupun dijawab seharian penuh.
"Hahhh..." aku menghela nafas pelan, mengambil jeda untuk menjawab. "Kau tahu kan, aku ini anak baru. Belum genap satu tahun aku di sini. Aku seperti tidak pantas berada di sana. Rasanya seperti pengganggu saja."
"Hei, apa itu sesuatu yang salah. Meskipun kau anak laki-laki misterius yang baru pindah satu tahun lalu, kau juga salah satu teman kami kan?" Ramsid berseru.
Sial, Ramsid membuatku mengenang masa-masa ketika harus berpindah-pindah sekolah hanya untuk mengikuti ayah bekerja. Terhitung sudah sepuluh kali aku berpindah sekolah sedari SD sampai SMP dan tentu saja sudah sepuluh kali pula berpindah rumah. Melelahkan memang, tapi aku tidak bisa protes.
Ayahku bisa dibilang seorang pekerja yang sibuk dalam artian sibuk berpindah-pindah lokasi kerja. Entah apa yang dia kerjakan, aku tidak terlalu peduli. Aku hanya tahu Ayah bekerja di departemen pertahanan Republik Metis. Dia memiliki posisi lumayan tinggi di sana, dan mungkin itulah yang membuatku harus hidup seperti manusia nomaden.
"Hei Azad! Malah malamun. Ayo keluar! Kelas kita baru saja dipanggil untuk foto bersama."
Ramsid menepuk pundakku, mengajakku ke luar aula pertemuan, menuju tempat sesi foto berlangsung. Aku menurut, mengikuti langkah panjangnya. Terkadang aku heran kenapa harus dia yang menjadi teman karibku di sekolah baru. Sangat terlihat aneh apabila kami berjalan beriringan. Rasanya seperti seorang kakak beradik yang tidak memilik kesamaan satupun. Sial, aku sedikit iri dengan tinggi tubuhnya.
"Azad, setelah semua ini selesai apa kau serius akan masuk ke Akademi Bronstend?" Ramsid tiba-tiba bertanya, memecah fokusku.
"Ya, memangnya kenapa? Bukankah ini juga keinginan semua anak-anak SMP Metisnew?"
"Walaupun kau tidak tahu bisa diterima atau tidak?"
"Kenapa tidak? Setidaknya aku mencoba selagi masih memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikan disana."
Ramsid menunduk, memandangi langkah panjangnya. "Kau sangat beruntung Azad."
"Yeah, aku memang beruntung, tapi hanya dalam hal kondisi ekonomi. Aku masih belum tahu apakah bakatku bisa membantu masuk ke Akademi Bronstend atau tidak. Berbeda denganmu Ramsid. Dengan bakat yang kau miliki, mungkin Pak Walikota bersedia memberikanmu beasiswa pendidikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Liberator [Novel - On Going]
AdventureAku hanya seorang anak ingusan yang berharap mendapatkan hidup menyenangkan. Namun, nahas, takdir membawaku ke pusaran permasalahan. Aku masuk ke dalam pertarungan dunia bawah, dunia yang tidak pernah dilihat oleh orang biasa. Aku pikir keluargaku a...