Kediaman Sadap berada di tepian danau, dekat dengan keramaian kota. Aku tidak habis pikir, seseorang yang memiliki julukan Sang Pengintai tempat tinggalnya malah seperti orang biasa pada umumnya. Namun, semua pemikiran itu seketika hilang setelah aku masuk ke dalam rumahnya.
Rumah milik Sadap dari luar terlihat sama seperti rumah-rumah lainnya di Desa Devos, ada cerobong asap, teras, dan terbuat dari batu. Akan tetapi, semua orang yang masuk ke dalamnya pasti akan dibuat takjub oleh tata ruang yang ada. Aku pun demikian. Sewaktu Sadap memersilahkan untuk masuk ke rumahnya, mataku tidak henti-hentinya menyelidik ke segala sisi rumah. Ada satu julukan yang paling pantas untuk rumah ini yaitu rumah paling futuristik di seluruh dunia. Hal ini membuatku lupa akan kejadian tadi pagi.
Sofa-sofa terbang, tembok yang dapat memunculkan layar hologram, robot pelayan yang membawa makanan serta minuman, serta lantai putih bersih dari batu pualam, semua itu adalah isi dari rumah ini. Aku terperanjat, tidak bisa berkata banyak akan apa yang terlihat. Sungguh, apabila dibandingkan, aku yakin rumah ini lebih modern dari pada istana kepresidenan. Sewaktu aku bertanya dari mana sumber listrik semua ini, Sadap hanya menjawab kalau semua listrik di Desa Devos bersumber dari panas bumi yang diolah menggunakan teknologi masa depan. Seketika aku paham kenapa tidak ada kabel listrik di desa ini. Karena setiap rumah sudah memiliki pembangkit listriknya sendiri.
Aku paham kenapa Desa Devos tidak seperti daerah lain di Republik Metis. Disaat Metis masih menggunakan kabel untuk menyalurkan listrik, Desa Devos telah beinovasi dengan pembangkit listrik panas buminya. Aku semakin yakin kalau perkembangan teknologi di Metis hanya berpusat di teknologi informasi.
"Jadi apa keputusanmu?" Sadap bertanya. Dia sedang duduk di sofa tunggal yang melayang tiga puluh centi di udara.
Aku yang masih belum bisa duduk di sofa aneh ini harus menengadah, memandangi wajah Sadap di atas. "Aku setuju untuk mendapatkan bimbingan."
Sadap tersenyum ke arahku. Dia menurunkan sofa terbang, membuatnya bisa kembali sejajar denganku. "Apa alasanmu?"
"Kau bilang aku tidak bisa kembali lagi. Yang Mulia berkata dunia bawah adalah tempat yang keras. Aku tidak mungkin bisa hidup di tempat semenakutkan itu. Dan aku juga tidak ingin tinggal di desa ini lebih lama, ada sebuah impian yang inginku capai."
Sadap bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu keluar. "Karena kau sudah setuju, sekarang ayo ikut aku!"
***
Sadap membawaku ke sebuah gedung besar berbentuk kubus di pinggiran desa. Plang besar bertuliskan "Tempat Latihan" terpampang jelas di depan pintu masuk. Aku sedikit terkejut setelah mengetahui adanya bangunan modern di desa ini. Ya walaupun rumah milik Sadap juga termasuk bangunan modern, tapi yang ini sangat berbeda.
Bagian dalam bangunan ini kosong. Hanya ada satu ruangan besar dengan tembok dan lantai terbuat dari baja. Setiap kali kakiku melangkah, pasti akan terdengar suara logam yang berdenting, membuat risih telinga.
Di tengah ruangan, terlihat seorang anak perempuan tengah duduk bersimpuh, seperti seorang yang sedang meditasi. Kami berjalan mendekati anak perempuan itu. Seolah tahu akan didatangi, anak perempuan yang mungkin sepantara denganku itu langsung berdiri. Dia membungkuk, seperti seorang murid dari negeri timur jauh.
"Selamat pagi guru. Saya sudah siap untuk mendapatkan ilmu dari guru." Kata anak perempuan itu.
"Selamat pagi, Latih. Apa kamu sudah menunggu lama?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Liberator [Novel - On Going]
AdventureAku hanya seorang anak ingusan yang berharap mendapatkan hidup menyenangkan. Namun, nahas, takdir membawaku ke pusaran permasalahan. Aku masuk ke dalam pertarungan dunia bawah, dunia yang tidak pernah dilihat oleh orang biasa. Aku pikir keluargaku a...