Lembah ini berbatasan langsung dengan hutan pinus menyeramkan, membentuk suatu garis pemisah yang tampak jelas apabila dilihat dari udara. Hampir semua bagian lembah adalah padang rumput, hanya sebagain kecil yang bukan. Di tengah-tengah lembah berdiri sebuah komplek bangunan, itulah Desa Devos, desa yang akan aku tuju.
Aku dan Sadap menyusuri jalan setapak. Di kejauhan terlihat segerombolan sapi berwarna hitam putih tengah merunduk, memakan rerumputan. Lonceng-lonceng sapi saling bersahutan, membentuk alunan musik pendamping pagi. Tidak ada seorang pun yang mendampingi sapi-sapi ini, mereka seperti dibiarkan hidup bebas tanpa ada penjagaan.
Kami melangkah semakin jauh, terus mendekat ke komplek bangunan. Dari jauh komplek bangunan ini nampak kecil, tapi sepertinya itu hanya suatu fatamorgana. Desa Devos bukanlah desa kecil yang hanya berpenduduk beberapa puluh jiwa, dan bukan sebuah desa peternakan yang baru saja aku duga. Semakin dekat, aku bisa melihat sebuah kota kecil berdiri di tengah-tengah lembah. Ya, Desa Devos bukanlah desa tapi sebuah kota kecil.
Aku dan Sadap melangkah masuk ke dalam desa. Rumah-rumah dari batu menyambut kami. Jalan setapak dari batu juga masih sama seperti tadi. Aku rasa desa ini lebih mirip dengan desa di abad pertengahan dari pada desa jaman modern. Kalau boleh jujur, aku sangat menyukai suasana desa atau kota ini. Anak-anak kecil yang berlarian, orang-orang tua yang asyik bercengkrama di pinggir jalan, dan beberapa wanita anggun dengan kantung belanjaan di tangan.
Bangunan di desa hampir semuanya sama, terbuat dari batu. Bagian-bagiannya pun sama. Ada sebuah cerobong asap di setiap rumah, ada teras di halaman, dan sebuah jendela besar di setiap bagian yang menghadap ke jalan.
Kami berjalan semakin dalam, melewati berbagai kegiatan orang-orang. Mereka semua ternyata hanya memerhatikan kami sekilas lalu membiarkan seolah tidak peduli. Aku tidak terlalu ambil pusing dengan tingkah mereka, yang penting aku bisa santai dalam perjalanan ini.
Ada satu hal lagi yang sangat mengesankan dari desa ini. Desa Devos ternyata dibangun mengelilingi sebuah danau. Danaunya tidak terlalu luas, mungkin diameternya sama dengan panjang dua lapangan sepak bola. Selain itu, ada bangunan besar di tengah danau dan terhubung dengan jembatan ke setiap sisi desa. Aku pikir itu adalah pusat dari desa.
"Apa kita akan ke sana?" tanyaku ke Sadap sembari menunjuk bangunan di tengah danau.
"Yap, kita akan bertemu dengan kepala desa di sana."
"Berarti itu pusat pemerintahan di desa ini."
"Tidak sepenuhnya benar. Bangunan itu sebenarnya adalah tempat ibadah yang merangkap sebagai pusat pemerintahan Desa Devos."
"Tempat ibadah? Apa desa ini menganut kepercayaan tertentu?"
"Ya, kami percaya ada suatu entitas unik di atas sana. Semua warga di sini diharuskan percaya akan hal itu."
Aku mengangguk paham. Tidak aneh jika suatu desa memiliki satu kepercayaan. Selain untuk menambah ikatan, hal ini juga bisa meningkatkan rasa percaya antar warga.
Kami berjalan menyusuri jembatan. Setiap kaki kami menapak jembatan, maka bangunan ini akan sedikit bergoyang. Jembatan ini merupakan tipe jembatan gantung yang bisa membuat bebeberapa orang enggan untuk menaikinya.
Butuh waktu setengah menit untuk sampai ke sebrang jembatan. Di sana, sebuah bangunan berbentuk setengah bole berdiri megah. Kalian tahu terbuat dari apa bangunan ini? Bukan, bukan batu seperti bangunan di desa lainnya, tapi kaca. Agak aneh memang saat seluruh desa terlihat terbuat dari batu, sementara pusatnya malah terbuat dari kaca.
Bangunan ini tembus pandang, semua orang bisa melihat keadaan di dalam dari luar. Berdasarkan penglihatanku, di dalam bangunan nyaris tidak ada orang. Aku berjalan masuk ke dalam bangunan untuk memastikan, melewati pintu besar setinggi dua meter.
Di dalam bangunan, tidak ada satupun perabotan. Hanya ada hamparan karpet merah melingkar, mengitari sebuah panggung. Ada seorang kakek tua di sana, tengah duduk bersimpuh, menghadap pintu masuk. Rambut kakek tua itu sudah memutih, kerutan menghiasi wajah tuanya. Dia mengenakan pakaian serba putih tanpa ada goresan hiasan lainnya. Matanya juga tertutup seperti seseorang yang sedang melakukan meditasi.
Panggung tempat kakek tua itu duduk tingginya hampir satu meter dari permukaan. Tidak ada tangga untuk naik ke sana. Kami melangkah mendekati panggung, membuat wajah si kakek tua semakin jelas.
"Salam wahai Yang Mulia. Maafkan hamba karena mengganggu anda." Sadap di sampingku berlutut, kepalanya menunduk.
Aku merasa canggung saat Sadap berlutut. Ada sedikit keinginan untuk mengikuti Sadap, tapi apa alasannya aku ikut-ikutan. Sementara itu, kakek tua di depanku baru saja membuka mata, menatap kami lamat-lamat.
"Syukurlah kau sudah pulang Sadap. Apa yang sudah kau temukan setelah dua tahun berkelana di dunia luar? Dan siapa yang kau bawa ini?" kakek tua itu bertanya.
"Saya memiliki beberapa informasi penting Yang Mulia, akan saya beritahu nanti setelah mengurus dia," Sadap melirik ke arahku, "Anak muda ini adalah anak dari Razad Rabad, Yang Mulia. Dia ingin meminta perlindungan dari Desa Devos."
"Apa masalahnya?" kakek tua itu berkata cepat, tidak mau basa-basi.
"Dia tengah dalam ancaman penculikan dari berbagai organisasi dunia bawah. Beberapa organisasi dunia bawah seperti Northell, Amburadul, dan White Mask berusaha menculiknya untuk memojokkan Keluarga Rabad agar bekerja sama dengan mereka."
Kakek tua itu menatapku sekilas, lalu kembali menatap Sadap. "Sadap, aku tidak memiliki waktu untuk mengurusnya sekarang. Ada sesuatu yang lebih penting. Biarkan dia menginap di rumah tamu untuk satu minggu. Baru setelah itu aku akan membahas masalahnya."
"Baik Yang Mulia, kalau begitu saya izin undur terlebih dahulu."
"Kau tidak usah pergi. Biarakan pengawalku yang membawanya."
Kakek tua itu lalu berteriak, menyebut sebuah nama yang dia ulang sebanyak tiga kali. Bum! Belum ada satu detik kakek tua itu beteriak, tiba-tiba seorang wanita berpakaian putih muncul di depan panggung. Aku sempat berpikir kalau dia adalah hantu, tapi hantu mana yang memiliki paras cantik jelita nan menarik perhatian.
Wanita cantik itu berlutut di depan kakek tua. "Bawa dia ke rumah tamu, biarkan dia istirahat dan berikan semua kebutuhan yang dia butuhkan!" Kakek tua berseru dibalas anggukan pelan dari sang wanita.
Sang wanita bergerak cepat ke arahku. Dia memberikan sebuah kode tangan untuk mengikutinya. Aku mengangguk, ikut mengekor di belakangnya. Kami berjalan kembali keluar dari bangunan, melewati jembatan, menapaki jalanan desa. Dia membawaku menuju sebuah rumah di tengah padang rumput pinggiran desa.
Rumah yang terbuat dari batu hitam itu, berdiri sendirian di tengah padang rumput tempat para sapi mencari makan. Dibatasi dengan pagar kayu, rumah ini sangatlah menenangkan. Aku masuk ke dalam, mendapati sebuah ruangan dengan kursi sofa mengitari pembakaran.
Rumah ini tidak terlalu besar, hanya ada dua lantai. Lantai satu terdiri dari sebuah ruang tengah yang juga merangkap sebagai ruang tamu dan dapur. Di lantai dua, terdapat dua buah ruangan yang semuanya merupakan kamar. Aku dibawa masuk ke dalam salah satu kamar. Wanita pengawal itu mengatakan bahwa aku akan tinggal di sini untuk sementara. Dia juga mengatakan akan pergi dulu untuk mengambil beberapa keperluan untukku. Aku hanya mengangguk tidak peduli.
Setelah wanita pengawal itu keluar dari rumah, aku dengan cepat bergulingan di kasur empuk kamar. "Hah ... sudah berapa lama aku tidak merasakan kasur seempuk ini. Dua hari, tiga? Mungkin baru beberapa hari, tapi aku rasa sudah sangat lama," gumamku pelan.
Tanpa sadar, mataku sedikit demi sedikit tertutup. Kesadaranku menghilang dalam sekejap. Pikiranku masuk ke dalam alam mimpi. Aku sudah tertidur, istirahat sejenak dari permasalahan yang sedang aku hadapi.
___________
Hai, terima kasih sudah membaca. Silahkan bubuhkan komentar kalian di setiap kata yang dirasa rancu dan tidak tepat.
Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
The Liberator [Novel - On Going]
AdventureAku hanya seorang anak ingusan yang berharap mendapatkan hidup menyenangkan. Namun, nahas, takdir membawaku ke pusaran permasalahan. Aku masuk ke dalam pertarungan dunia bawah, dunia yang tidak pernah dilihat oleh orang biasa. Aku pikir keluargaku a...