Bab 7

28 3 1
                                    

Selamat membaca, jangan lupa bernafas.

_________

AK-47 milikku menyalak, memuntahkan puluhan peluru dalam beberapa tarikan pelatuk. Aku mundur, menutup pintu, berlindung di balik tembok. Kelima musuhku telah tumbang, tertembak. Aku mengganti magazine, menyiapkan senjata kembali.

Kebisingan dari tembakanku kemungkinan besar akan membuat musuh lain bergerak ke arahku. Dan kemungkinan paling buruk mereka ada banyak. Hal ini membuatku harus menyiapkan area pertahanan yang lebih baik.

Aku berjalan setengah jongkok ke tembok samping pintu. Tembok ini terbuat dari kapur, hal ini bisa dijadikan sebagai benteng pertahanan terbaik. Aku menghancurkan tembok dengan popor senjata (bagian belakang yang biasanya digunakan untuk penompang bahu), membuat lubang yang pas bagi AK-47.

Dari lubang ini aku bisa melihat keadaan di luar. Beberapa orang berseragam loreng terlihat mengendap-ngendap, berlindung di balik-balik bayangan benda. Ada juga musuh yang berada di lantai dua banguan utama, bersiap menembak. Lima orang lain menenteng senapan bertabung panjang di dekat kolam tersinari jelas cahaya rembulan, berdiri seolah menjadi umpan.

Terhitung ada lebih dari lima puluh musuh. Mereka semua menenteng senapan bertabung panjang. Sial, semua senjata itu merupakan jenis senapan serbu paling berbahaya saat ini. Tapi tak apa, aku juga punya senapan serbu paling mematikan.

Aku mulai menghitung, memperkirakan jarak dari semua musuhku. Juga menghitung seberapa banyak amunisi yang aku siapkan. Ah, sial ini tidak akan cukup. Aku hanya memiliki beberapa ratus peluru lagi dan mungkin itu tidak akan bisa menumbangkan mereka semua.

Aku menggeratkan gigi, kesal akan keadaan. Tanpa pikir panjang, aku mengambil keputusan berani. Jari telunjukku berisap, tanganku kokoh memegang senapan. Aku menarik pelatuk, menembakan peluru berkaliber 7,62 x 39 mm.

Senapanku menyalak, membuat bising komplek villa. Musuh-musuhku membalas timah panas yang aku kirimkan. Peluru beterbangan di udara, membuat siapapun akan bergidik ngeri saat melihatnya. Tembok gudang kini dihiasi lubang terkena peluru yang ditembakan, begitu pun dengan bangunan utama villa. Aku membuat hampir semua bagian tembok villa terkelupas, terkena peluru AK 47 milikku.

Tempat ini sudah berantakan. Kaca-kaca pecah. Darah berceceran di lantai dan tembok bangunan utama villa. Kolam renang yang semula jernih kini berubah warna menjadi merah. Tubuh musuhku terlihat mengambang di kolam. Perutku seketika terasa tidak enak saat melihatnya.

Aku segera mengganti magazine, menambah daya serang dan mencoba melupakan rasa mual di perut. Sekarang aku sudah melumpuhkan setidaknya 30 musuh. Tinggal 20 orang lagi. Peluruku hanya tersisa 100 buah, membuatku semakin resah. Sialnya, musuhku semakin pintar, mereka melempar sebuah smoke bomb ke arah lubang buatanku. Asap mengepul, menutup pandangan.

Tidak hanya satu smoke bomb yang mereka lemparkan, tapi ada lima sekaligus. Sepertinya musuhku masih bodoh. Ini adalah kesempatanku. Dalam keadaan genting terkadang otak akan berpikir lebih cepat dan hal itu terjadi padaku. Aku menemukan sebuah ide brilian dalam keadaan seperti ini.

Aku kembali membuka pintu gudang. Di depan pintu, asap juga mengepul, membuat gerakan semakin leluasa. Ada satu hal yang aku yakini dari musuhku, mereka tidak akan menembak membabi buta. Para musuhku memiliki tujuan menculikku, tidak mungkin mereka akan membunuh sandera mereka sebelum mendapatkan keuntungan.

Aku berjalan keluar, berlarian kecil menuju gerbang belakang yang juga mendapat efek smoke bomb. Aku berjongkok di depan gerbang belakang. Sebuah granat tergenggam erat di tangan kiriku dan AK-47 di tangan kananku. Beberapa detik kemudian asap menghilang, membuat jarak pandang kembali normal. Di depanku, 20 orang bersenjata senapan tabung panjang mengepungku.

The Liberator [Novel - On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang