"Komplek villa milik Keluarga Rabad, tadi malam kurang lebih pukul 00.00 baru saja diserang. Seluruh bangunan villa hancur, terbakar, menyisakan puing bangunan. Lebih dari setengah hektare kebun zaitun milik Keluarga Rabad juga ikut terkena dampaknya. Dugaan sementara serangan ini dilancarkan kelompok teroris tertentu untuk menekan keluarga Rabad yang semakin dekat dengan pemerintah."
Akhirnya berita bohong ini selesai juga. Aku tidak habis pikir media dengan gampangnya mengatakan dugaan-dugaan tanpa dasar apapun. Bahkan, media tersebut terkesan memojokkan keluarga kami hanya untuk menarik perhatian penonton. Ah, memang benar kata orang bijak, jangan percaya dengan media jaman sekarang.
Aku mematikan layar hologram, menatap jam dinding yang juga merupakan teknologi layar hologram. Pukul 07.00, sudah pagi rupanya.
Tadi malam, setelah ayah mengalahkan The Shadow, aku dibawa ayah pergi menggunakan helikopter. Aku kira helikopter akan langsung pergi ke rumah, tapi sepertinya aku salah. Helikopter memang menuju ke Kota Valen, kota tempatku sekarang tinggal. Akan tetapi tujuan helikopter adalah pangkalan militer di sana.
Pangkalan militer Kota Valen berada di area pelabuhan. Ada beberapa landasan pesawat disana, puluhan pesawat militer, belasan kapal perang, dan ribuan prajurit siap tempur. Beberapa kendaraan taktis militer juga terparkir di setiap sudut pangkalan. Semua kegiatan dalam pangkalan militer dikontrol dari gedung utama yang berada di tengah-tengah pangkalan. Gedung dua puluh lantai yang menjadi pusat pangkalan militer Kota Valen itu berdiri tepat di tengah-tengah pangkalan. Bagian atas gedung terpampang logo militer Republik Metis yaitu Rubah Merah.
Aku digiring masuk ke dalam gedung pusat. Naik ke lantai sepuluh gedung. Setelah itu ayah menyuruhku untuk masuk ke ruang tunggu. Aku menurut, masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan sofa nyaman.
Terhitung sudah satu jam aku menunggu ayah kembali. Ini sangat membosankan, sejak tadi aku hanya membuka tutup layar hologram, menonton berita, dan membaca novel favorit. Sementara itu, di luar ruangan, semakin banyak orang yang berlalu lalang. Ruangan ini memang hanya dibatasi kaca, membuat siapapun bisa melihat aktivitas orang di dalam ruang tunggu.
Beruntung, disaat kebosananku sudah semakin menjadi-jadi ayah masuk ke dalam ruang tunggu, mengajakku keluar. Aku mengikutinya, keluar dari ruangan masuk ke ruangan lain di seberang ruang tunggu.
Sebuah ruangan berukuran lima kali lima meter menyapaku. Isinya hampir kosong, hanya ada dua buah kursi besi dan sebuah meja besi berwarna putih di tengah. Aku sudah paham ruangan apa ini. Dari tata letak meja dan kursi yang hampir sama dengan rumah di tengah padang milik White Mask, aku yakin ini ruangan introgasi.
Ayah memersilahkanku untuk duduk. Dia juga duduk di kursi satunya. Kami berhadapan, diam sebentar.
"Jadi, selama dua hari ini apa yang terjadi padamu? Coba kamu ceritakan semuanya serinci mungkin!" Ayah berucap.
Aku menurut, menceritakan semuanya. Mulai dari saat aku diculik oleh Pak Nata sampai menghadapi baku tembak dengan kelompok tak dikenal. Tentu saja aku tidak menceritakan perihal White Mask yang membuatku menjadi seorang mata-mata. Aku tidak akan bertindak gegabah.
White Mask merupakan organisasi kuat walaupun hanya memiliki beberapa anggota. Mereka bisa mendapatkan informasi walaupun dari dalam pangkalan militer. Itulah sebabnya aku tidak akan mengatakan White Mask yang membuatku menjadi mata-mata. Dan aku juga masih sayang nyawa. Terlalu berbahaya jika aku membeberkan semua hal tentang itu, bisa-bisa nyawaku menghilang saat ini juga.
"Hmmm, menarik. Sampai saat ini mungkin baru kamu saja yang selamat setelah diculik oleh White Mask. Sebelumnya, juga banyak orang yang diculik White Mask tapi mereka tidak pernah kembali. Kamu sangat beruntung."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Liberator [Novel - On Going]
AdventureAku hanya seorang anak ingusan yang berharap mendapatkan hidup menyenangkan. Namun, nahas, takdir membawaku ke pusaran permasalahan. Aku masuk ke dalam pertarungan dunia bawah, dunia yang tidak pernah dilihat oleh orang biasa. Aku pikir keluargaku a...