Bab 5

34 5 1
                                    

"K-kau, Sang Raja." Aku menjawab gagap, jantungku berdetak semakin cepat.

"Panggil saja aku Raja. Aku tidak terlalu suka sebutan dari media. Terlepas dari itu, aku ingin tanya apa kau tahu kenapa kami membawamu ke sini?"

Aku menggeleng, tidak tahu.

"Oke, ini menarik. Namamu Azad bukan? Anak dari Razad Rabad?"

Aku mengangguk. Ini aneh aku tidak berani bersuara. Entah kenapa tubuhku tidak berhenti bergetar saat menatap topeng milik Raja. Aku ketakutan.

"Bagus, itu berarti informan kami bisa dipercaya. Tidak, bukan hanya informan kami tapi informan semua organisasi dunia bawah. Apa kau tahu dunia bawah?"

Aku menggeleng tidak tahu.

"Hahhh," Raja menghembuskan nafas pelan. "Pantas saja kau tidak paham akan posisimu sekarang."

"A-apa maksudmu?"

"Biar ku jelaskan," Raja terdiam sejenak, kemudian melanjutkan. "Kau sekarang berada di tangan kami. Kau adalah barang jaminan kami. Dengan kata lain kau sekarang adalah sandera."

Aku melotot, terkejut dengan apa yang aku dengar. Baru saja aku terlepas dari Pak Nata beberapa jam lalu. Sekarang, aku malah kembali menjadi seorang sandera. Ah, sial, sial sekali hidupku.

Tanpa pikir panjang, aku segera berlutut di depan Raja, mengatupkan tangan di depan dada. "To-tolong lepaskan aku. Aku janji akan memberikan kalian uang yang kalian inginkan. Ayahku pasti akan memberikannya jika kalian melepaskanku. Kumohon lepaskan aku!"

Sebenarnya ini memalukan. Aku baru kali ini memohon-mohon seperti pengemis jalanan. Mengorbankan harga diri anak seorang pegawai negara. Namun, sudah tidak ada cara lain. Aku harus bisa membujuk Raja untuk melepaskanku.

"Heeh, anjing pintar. Kau pikir kami ini penjahat yang suka merampok bank, penjahat yang selalu menginginkan uang. Lancang sekali kau. Raja, bolehkah aku menghajarnya? Dia harus diberi pelajaran." Dua berseru dari dinding sebelah kiriku.

Aku menoleh, menatap Dua marah. Dia sedari tadi sangat menjengkelkan. Apa seperti itulah kepribadiannya. Padahal anggota White Mask lainnya masih tenang memerhatikan. Kenapa dia harus berkata seperti itu. Sial, aku ingin segera memukul wajahnya.

"Diam Dua! Dia ini barang berharga. Kita harus menjaganya dengan baik." Satu menimpali.

Dua akhirnya memilih diam, membuatku lebih tenang. Sementara itu, Raja masih terus memerhatikanku. Aku tidak bisa melihat ekspresinya sekarang apakah sedang tersenyum atau sedang murung. Yang pasti dia ini terlihat tenang dalam semua hal.

"Apa bisa di lanjutkan?" Raja bertanya. Aku mengangguk.

"Baik. Seperti yang dikatakan Dua, kami tidak membutuhkan uang untuk melepaskanmu. Kami menginginkan benda yang lebih penting, benda yang hanya dimiliki oleh ayahmu. Oleh sebab itu teman kami, Empat dan Lima yang merupakan pilot dan co-pilot pesawat sedang pergi menemui ayahmu. Mereka akan mengambil benda tersebut dan setelahnya kami akan melepaskanmu."

Aku menatap bingung Raja. Memangnya benda apa yang dimiliki ayah. Rumah, tanah, atau setumpuk kertas kerjaan yang tidak pernah ada habisnya. Apa malah pakaian berdebu yang dia koleksi di lemari besi. Aku pikir tidak ada satupun barang berharga yang dimiliki ayah.

"Kau pasti berpikir ayahmu adalah seroang pekerja biasa. Salah satu orang yang bekerja di departemen pertahanan. Orang yang katanya memiliki jabatan tinggi di sana. Tapi maaf, sepertinya kau masih belum mengenal ayahmu lebih jauh. Kau belum tahu siapa ayahmu sebenarnya."

The Liberator [Novel - On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang