Bab 16

12 3 3
                                    

Aku kembali terkapar tak berdaya di kamar rumah tamu, sendirian. Sekujur tubuhku serasa hancur, dihiasi luka lebam bekas hantaman bogem mentah milik Sadap. Aku baru tahu seorang pengintai memiliki kekuatan pukulan yang luar biasa dahsyat.

Tadi, sewaktu latih tanding, Sadap tanpa ampun menghajar anak didiknya. Aku dan Latih tak berdaya melawan. Kami hanya berhasil bertahan selama lima menit tanpa mengeluarkan satupun kekuatan elemen. Latih tanding selesai saat aku dan Latih jatuh tak berdaya di lantai. Dari sana aku tahu, Sadap bukan seorang pelatih yang harus dihormati. Bagaimana tidak? Dia dengan santainya berkata kepada kami kalau latihan selesai dan kami boleh pulang. Boro-boro mengobati luka yang baru saja dia buat di sekujur tubuhku, kakinya malah ringan berjalan keluar ruang latihan.

Aku menatap jendela kamar. Hujan deras tengah mengguyur desa. Pemandangan desa dan padang rumput yang seharusnya bisa dilihat dari jendela kini tertutup oleh rintik hujan. Suhu di luar rumah pastilah sangat dingin, mengingat bulan ini Metis sudah memasuki musim gugur. Beruntung, rumah ini memiliki sistem penghangat ruangan canggih, membuat hawa dingin dari hujan tidak terasa di dalam kamar.

"Hahh, apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumamku pelan.

Aku menatap jam dinding konvensional. Pukul 00.00. Sepertinya aku terlalu lama malamun, sampai-sampai tidak ingat kalau sudah tengah malam.

"Aku harus tidur."

Aku membenarkan posisi tidurku, menutup kelopak mata, berharap cepat masuk ke dunia mimpi. Akan tetapi, tubuhku seolah menolak untuk tidur. Rasa sakit di sekujur tubuh masih terasa. Ditambah, jantungku kembali merasakan sesuatu seperti pagi tadi.

Perlahan-lahan tapi pasti, dadaku semakin sesak. Aku kembali bangun, duduk di tepian kasur. Tanganku erat mencengkram dada, mencoba meredakan rasa sakit yang semakin menggila. Tapi sia-sia. Dadaku tidak bisa diajak kompromi. Cengkramanku semakin kuat, sembari menahan rasa sakit di sekujur tubuhku.

HUEK!!

Darah keluar dari mulutku, memerahkan lantai. Aku kembali merayap menuju pintu, berteriak meminta pertolongan. Nahas, tenggorokanku seperti tersumpal batu, mulutku seperti terjahit, aku tidak bisa bersuara. Tenagaku telah habis. Aku tidak bisa bergerak. Pandanganku mulai kabur, kunang-kunang menghiasi pandanganku. Aku sudah tidak kuat lagi. Seketika semua menghitam bersama dengan kesadaraanku yang perlahan-lahan menghilang.


***


Detik jam konvensional terdengar nyaring, mengisi kekosongan ruangan. Dari luar, lonceng-lonceng sapi saling bersahutan dibarengi dengan lenguhannya yang nyaman didengar. Aku membuka mata, menemukan tubuhku masih terbaring di lantai berbalut darah kering berbau amis. Tanpa pikir panjang, aku segera bangkit, pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ini sudah terjadi dua kali. Aku tidak tahu sebab pastinya, tapi aku yakin ini ulah dari bom mikro di jantungku. Ada kekhawatiran di benakku akan hal ini. Aku takut bom mikro itu meledak diwaktu yang tidak tepat. Walaupun aku sudah memutuskan untuk bergabung dengan White Mask, tapi sepertinya mereka tidak akan mengijinkan orang lemah sepertiku ikut ambil bagian dalam organisasi sekuat itu.

"Hahh, apa yang harus aku lakukan? Sekarang, tidak ada orang yang tahu di mana aku berada. Aku juga tidak bisa meninggalkan desa ini sendirian. Apa aku harus terus mengikuti saran Sadap dan Yang Mulia? Hahhh... ini sangat membingungkan." Aku bergumam pelan, menikmati guyuran air.

Setelah membersihkan diri aku segera masuk ke dapur, menyantap sarapan yang selalu tersedia di meja makan. Aku tidak tahu siapa yang selalu mempersiapkan makanan ini. Masa bodoh dengan itu, yang penting aku bisa makan.

The Liberator [Novel - On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang