Bab 4

42 6 7
                                    

Monolog yang luar biasa. Aku tidak tahu mau kagum atau bingung. Aku tidak paham akan maksud perkataan Sang Raja. Tapi Aku tahu satu hal, dia adalah pecandu matahari terbit.

Sang Raja menghentikan perkataannya. Dia kembali diam membisu, meninggalakan kesunyian ke kabin pesawat. Aku masih terus menatapnya penuh akan rasa penasaran. Mataku menyelidik dari kaki sampai ujung rambut. Aku tidak tahu itu rambut asli atau bukan karena semua anggota White Mask rambutnya sama, berwarna putih. Jadi, mungkin itu hanya rambut palsu yang digunakan untuk menutup identitas mereka.

"Raja," pilot pesawat berucap, memecah keheningan. "Kita sudah sampai."

Raja Para Badut mengangguk paham. "Segera turunkan pesawat!"

Semula aku bingung apa maksud dari kata sudah sampai. Sementara pesawat masih berada di atas awan berpuluh-puluh ribu kaki dari permukaan laut. Tidak mungkin tujuan dari pesawat ini ada di atas awan. Namun, pilot ternyata menjawab kebingunganku.

Pesawat menukik tajam, membuatku terjerembab ke belakang. Beruntung aku sempat berpegangan ke dinding pesawat. Pilot pesawat ini gila. Dia terus memacu kecepatan pesawat yang masih dalam keadaan menukik. Bukan, ini sudah tidak seperti menukik tapi sudah seperti jatuh bebas dengan tambahan dorongan mesin jet.

Dari kursi penumpang, aku bisa melihat permukaan tanah yang semakin dekat. Beberapa detik lagi aku yakin pesawat ini akan jatuh menghujam tanah, hancur berkeping keping. Namun, dugaanku salah. Hanya dalam waktu sepersekian detik pesawat kembali dalam posisi seharusnya, terbang mengambang di atas permukaan tanah.

Aku mendongak melihat anggota White Mask. Astaga, mereka seperti sudah terbiasa dengan ini. Mereka langsung berdiri, berbaris, menunggu pintu pesawat dibuka. Sementara aku masih harus duduk menyetabilkan kaki yang masih terus bergetar. Sungguh, aku lebih memilih naik roller coaster dari pada naik pesawat gila ditambah pilot yang juga tidak kalah gilanya.

"Ayo cepat berdiri! kita akan keluar dari pesawat."

Dua menarik lenganku. Dia seperti tidak memikirkan kakiku yang masih terus bergetar. Tapi ini lebih baik daripada harus berada di dalam pesawat gila ini. Aku menurut, ikut berbaris menunggu pintu pesawat di buka.

Beberapa saat kemudian pintu pesawat terbuka. Tadinya aku pikir pesawat ini seperti pesawat normal lainnya yang memiliki sebuah tangga untuk turun, tapi aku salah. Pesawat ini adalah pesawat yang tidak normal. Cara untuk turun dari pesawat ini tidak menggunakan tangga tapi dengan melompat. Ah sial, ini sudah keterlaluan.

Satu persatu anggota White Mask lompat dari pesawat, turun. Sekarang giliranku, aku melihat ke bawah. Ini gila, tidak mungkin manusia normal sepertiku bisa melompat dari ketinggian sekitar lima meter. Aku mundur dua langkah, mengurungkan niat melompat. Namun, Dua yang berada di belakangku seolah tidak mengijinkan. Dia mendorongku, membuatku terjun bebas, mendarat dengan tangan kanan sebagai tumpuan.

BUG!! KRAKKK!!

"AAAAAAAAAHHH!!"

Aku menjerit kesakitan. Tangan kananku mengeluarkan suara yang begitu keras. Ini sakit sekali. Aku menggeliat, berguling-guling di atas rerumputan. Tangan kiriku menggenggam erat pergelangan tangan kanan. Mataku berair, menahan rasa sakit. Aku mendongak menatap anggota White Mask.

Sial, para bedebah ini hanya menatapku. Aku tidak tahu ekspresi mereka di balik topeng. Mereka sangat dingin. Beruntung, Sang Raja memerintahkan Enam untuk segera mengobatiku.

Enam mendekat. Dia begerak cepat mengobatiku dengan kekuatan penyembuhan. Aku tertolong, hanya dalam waktu beberapa detik tangan kananku kembali normal. Sekarang aku iri dengan kemampuan Enam.

"Hei nak!" Dua, orang yang mendorongku berseru. "Kenapa kau begitu lemah?"

Aku melotot, tanganku tergenggam erat. Emosiku sudah mencapai puncaknya. Aku menguatkan hati untuk bersuara, membuang rasa takut yang sejak tadi menyerang benak.

"Bicara apa kau sialan! Tidak mungkin ada orang biasa yang bisa melompat dari ketinggian lima meter tanpa pengaman. Aku tahu kalian ini kuat, aku tahu kalian orang-orang berkemampuan. Kalian tidak mungkin paham akan keadaan orang biasa sepertiku."

Tanpa aku duga, Dua melasat cepat ke arahku. Dia mencengkram leherku, membuatku terangkat beberapa centi dari tanah. Tangannya kuat mencengkram, membuatku kesulitan bernafas.

"Apa katamu hah?" Dua berteriak, marah. "Kau kira kami dulunya bukan orang biasa. Kami malah paling paham menjadi orang biasa. Kami lebih parah darimu. Kau tahu itu!"

"Cukup!!" Sang Raja berseru, "Turunkan dia. Jangan sampai kau termakan emosi!"

Dua menurut. Dia menurunkanku dan kembali ke tempatnya. Aku menatapnya bingung sekaligus ngeri. Cengkramannya tadi masih terasa, membuatku belum bisa bernafas dengan normal.

Disaat aku masih menormalkan nafas, angin tiba-tiba berhembus kencang. Aku mendongak, mencari sumber angin. Astaga, ternyata ini alasan kenapa pesawat dengan sayap berbentuk kelelawar ini tidak menurunkan kami dengan normal. Pesawat itu ternyata kembali mengudara, pergi meninggalkan kami.

Aku menatap sekitar, menyelidik tempatku berada. Aku terkesima dengan ini. Padang rumput luas terhampar di depanku. Matahari pagi, menyinari pucuk-pucuk rerumputan hijau tanpa terkecuali. Embun pagi masih menempel di batang dan daun rumput-rumput setinggi lutut. Di atas, awan terlihat jelas, bergerak bergelombang bak ombak di langit. Pilar-pilar cahaya terbentuk di timur, membuat kemunculan sang mentari semakin menawan.

"Hei bocah! Ayo cepat maju!!" Dua berseru galak, membuatku tersadar dari lamunanku.

Aku menurut, melangkah, mengikuti anggota White Mask yang lain. Kami berjalan menyusuri sebuah jalan setapak dari tanah. Pagar kawat membatasi jalan setapak ini, membuatnya kontras dengan rerumputan. Di ujung jalan ada sebuah rumah kayu kecil berdiri sendirian di tengah padang.

Aneh memang melihat rumah di tengah-tengah padang rumput. Namun, yang lebih aneh lagi kenapa White Mask membawaku ke sini. Apa mereka sama saja dengan Pak Nata atau memiliki tujuan lain. Sial, kenapa tepat saat acara kelulusanku ada insiden seperti ini.

Rumah kayu ini bisa dibilang kecil. Panjangnya sekitar enam meter dengan lebar lima meter. Atapnya terbuat dari genteng rapuh yang mungkin sebentar lagi akan hancur. Tidak ada beranda di depan, hanya ada sebuah kandang kuda di samping kanan. Apa mungkin rumah ini berpenghuni? Pikirku.

Sang Raja yang terlebih dahulu tiba di depan rumah, masuk ke dalamnya, diikuti oleh para badut lain. Aku ikut melangkah memasuki rumah dan langsung di sambut dengan pemandangan ruangan kosong. Hanya ada satu ruangan di dalam rumah ini dan hanya ada dua kursi beserta satu meja di dalamnya, itupun diletakkan di tengah ruangan.

Ke empat anggota White Mask yang tidak bertugas sebagai pilot maupun co-pilot bersender ke dinding, menunggu. Sang Raja duduk di kursi, melambai kepadaku, mempersilahkan untuk segera duduk. Aku menurut, berjalan ke kursi satunya, duduk berhadapan dengannya. Dia menatapku tanpa bersuara. Ini situasi yang canggung. Dadaku sesak, jantungku berdebar lebih kencang. Aku akui Sang Raja memang seseorang yang sangat mengintimidasi.

"Apa kau tahu siapa aku?" Sang Raja bertanya.

____________

Hai, terima kasih karena sudah baca sampai bab ini. Semoga kalian suka dengan bab ini dan semoga kalian betah membaca cerita ini sampai akhir.

Tidak lupa aku meminta kalian untuk memberikan komentar beserta vote di novel ini kalau kalian suka. Jika tidak suka, kalian bisa langsung hubungi saya, dan berikan kritik kalian atau bisa tulis di kolom komentar langsung.

Dan akhirnya, bagi kalian yang menyukai cerita ini selalu jaga mata dalam membaca ya... Jangan sampai baca sampai terlarut-larut sampai lupa waktu.

Terima kasih

The Liberator [Novel - On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang