hai! selamat datang di work baruku! semoga kalian suka!!
***
Aku berjalan keluar ke gerbang kampus dengan keringat yang tercetak jelas di hijab merah marun yang kugunakan.
Kusebrangi jalan, kearah sebuah gang yang lumayan panjang.
Kususuri gang itu dengan santai, sambil sesekali menyapa temanku yang kebetulan berpapasan, entah itu dari dalam kos atau ingin kekampus.
Tidak terasa, setelah lima menit aku berjalan sampailah aku disebuah rumah tingkat dua dengan pagar bercat coklat. Kubuka pintu pagar, masuk lalu menutupnya kembali.
Saat sampai didepan pintu, kulepas sepatuku dan menaruhnya di rak. Mengucap salam lalu masuk kedalam langsung naik kelantai dua tempat kamarku berada.
Berjalan dari arah tangga keujung dan membuka sebuah kamar dengan pintu jati kokoh. Masuk dan merebahkan diri diatas kasur.
Jika kalian pikir ini adalah kost, berarti tebakan kalian tidak sepenuhnya salah. Ini bukan kost untukku sebab aku tidak membayar apa-apa selama dua tahun tinggal disini.
Bukan juga rumah pribadi milik orang tuaku, apalagi aku. Rumah ayah dan bunda berjarak lumayan jauh dari daerah ini..
Rumah ini milik Melia sahabatku, tepatnya milik orang tua Melia yang seorang pengusaha kayu jati diluar kota. Rumah ini adalah rumah lama mereka sebelum pindah kerumah baru yang berada dikompleks perumahan elit didaerah ini.
Aku yang bersahabat dengan Melia sejak SMP menumpang tinggal disini untuk melanjutkan jenjang pendidikan dikampus yang jaraknya hanya seratus meter dari sini bersama Melia yang menolak ikut pindah ke kompleks perumahan mewah itu dengan alasan jauh dan akan kesepian karena tidak ada yang menemani jika ayah dan ibunya kembali melakukan perjalanan bisnis keluar kota. Maklum saja, Heru—abang Melia—yang seorang polisi sedang tugas jauh diluar kota..
Jadi kami berakhir disini, tinggal berdua dirumah yang lumayan luas ini.
Sebenarnya tidak benar-benar berdua sih, sebab lantai bawah difungsikan sebagai kost-kostan untuk mahasiswi. Sehingga dirumah ini lumayan ramai.
Aku dan Melia yang bertugas menjadi sebagai 'ibu kost' disini.
Mengurus segala tetek bengek kost dibawah.
Mengurus pembayaran air pam, gas alam yang untungnya sudah terpasang dan memudahkan kami yang masih awam dalam hal pasang-memasang gas, mengurus pembayaran WiFi kos dan lain-lain.
Orang tua Melia tidak mempermasalahkan mengenai rumah mereka ini dijadikan sebagai kost.
Mereka bahkan merasa senang dan mengurangi taraf ke khawatiran mereka kepada kami.
Ya, jelas mereka khawatir. Dua anak gadis tinggal disebuah rumah dikawasan yang padat penduduk. Apalagi ini didekat kampus kami. Jadi sangat banyak orang berlalu lalang.
Seseorang mengetuk pintuku, awalnya hanya ketukan biasa namun berubah menjadi gedoran saat aku tak kunjung membuka pintu.
Kuangkat badanku dengan ogah-ogahan, memperbaiki ciput dan membuka pintu.
"Taya! Ini mama nelfon.. nanya kok telfon lu ga bisa dihubungin?" sembur Melia saat aku membuka pintu.
Wajah cantiknya terlihat cemberut. Mungkin karena kelamaan saat menungguku membuka pintu.
Kuambil ponsel dari tangannya dan menempelkannya ditelingaku.
"Halo ma... assalamualaikum..."
"Halo ta walaaikumsalam... kamu kenapa gabisa dihubungin hapenya? Ini bundamu nelfon mama.. khawatir.. kamu gak papa kan?" tanya suara perempuan dari sebelah sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Takdir
ChickLitkita tidak tahu jalan yang digariskan Tuhan seperti apa. mau manusia mencoba untuk merusaknya dengan cara apapun, garis Tuhan sudah lurus dan tak bisa dibengkokkan. Seperti kisah Athaya dan Arkandi. dua insan yang merasa bahwa Garis Tuhan benar-bena...