Dan disinilah aku, salah satu pusat perbelanjaan terbesar dikota ini.
Aku berjalan kearah super market yang berada di basement.
Masuk kedalam lalu mulai memilih bahan makanan yang akan kuolah nantinya.
Jangan pikir, karena tinggal jauh dari orang tua membuat asupan makananku dan Melia tidak terurus.
Aku yang sering memasak makanan untuk kami makan. Bukan makanan yang ribet karena aku yang tidak suka tentang hal-hal ribet.
Nasi, ikan atau ayam, tempe atau tahu dan sayur adalah makanan yang sering aku masak. Melia pun tidak protes karena katanya masakan buatanku enak walau sederhana.
Melia request ingin makan capcay hari ini, jadi aku berjalan kearah rak sayur untuk membeli wortel, kembang kol dan perlengkapan untuk memasak capcay nantinya.
Aku sedang menyusuri rak sayur saat kudengar seorang perempuan meringis kesakitan.
Kucari arah sumber suara dan melihat seorang ibu-ibu yang sedang duduk menyandari meja tempat kentang ditumpuk.
Aku mendekati ibu-ibu tersebut yang kelihatannya sangat kesakitan. Disampingnya ada seorang anak kecil yang menatap ibu-ibu tersebut dengan bingung.
"Ibu... ada apa? Ada yang bisa saya bantu?" aku berjongkok dihadapan ibu-ibu tersebut.
"Kaki saya kram..." jawabnya singkat.
Kubuka totebagku cepat, mengeluarkan minyak kayu putih dan membalurkannya dikaki ibu tersebut.
"Ini gak bisa diurut bu.. nanti tambah sakit.. dioles gini-gini aja..." kuoleskan minyak itu lagi dikaki ibu tersebut.
"Ibu gak bisa disini, ntar makin kram..." kuedarkan pandanganku kesegala arah, mencari kursi yang dapat digunakan ibu ini untuk duduk dan untungnya tidak jauh dari tempat ini ada sebuah kursi panjang yang disediakan untuk pengunjung super market.
Dengan pelan, kubantu ibu tersebut untuk berdiri. Memapahnya perlahan dan duduk dikursi tersebut.
"Kaki ibu masih kram?" tanyaku saat melihat ekspresinya yang sudah terlihat sedikit santai, tanda kakinya sudah tidak terlalu kram.
"Sudah... makasih ya nak udah bantuin ibu... ibu gak tau harus bilang apa... kalo gak ada nak..."
"Athaya bu... Taya..."
"Kalo gak ada nak Taya ibu mungkin sudah pingsan disana... makasih ya..." katanya.
"Ah gak papa bu... sudah kewajiban setiap orang untuk saling tolong menolong.. lagian saya gak ngapa-ngapain..." jawabku sungkan.
"Saya Fitri..." ibu itu mengangsurkan tangannya. Langsung kusambut dengan mencium tangannya takzim.
"Saya Taya bu... oh ya bu... maaf sebelumnya... saya mau nanya.. ibu sering kram begini kakinya?" tanyaku.
"Nggak sering sih Tay... cuman sesekali kaki saya memang kram..."
"Ibu belanja gini gak ditemenin anaknya? Gak takut kaki ibu kram lagi?" tanyaku lagi.
"Tadi sih maunya ditemenin sama mamanya Gio, tapi saya yang nolak... berasa saya nih sakit-sakitan banget kalo kemana-mana ditemenin Tay..." jawab bu Fitri.
"Oh iya... lupa... Gio, ini aunty Taya salim dulu" bu Fitri memperkenalkanku pada anak kecil yang daritadi diam saja melihat neneknya kesakitan. Mungkin bingung dengan keadaan yang ada didepannya.
Anak itu—Gio—mengambil tanganku lalu menyalimi.
"Gio aunty..." katanya dengan tersenyum lebar. Menampilkan giginya yang rapih.
Kuacak rambutnya pelan. Gemas sekali pada anak ini.
"Bu Fitri mau Taya temani belanja? Takut nanti bu Fitri kram lagi..." tawarku.
"Ah gak usah... Taya pasti sibuk... juga.. kamu jangan panggil saya Ibu ya... panggil Tante aja" jawab bu Fitri.
"Taya gak papa kok bu... ini senggang kok gak papa..." kuyakinkan bu Fitri lagi.
Aku hanya kasian pada bu Fitri, takut jika kakinya tiba-tiba kram lagi ketika berjalan. Kubayangkan yang berada diposisi bu Fitri adalah bunda. Ketika bunda sedang kesakitan dan tidak ada yang menolong, pasti.. ah aku tidak bisa membayangkannya lebih lanjut.
"Okedeh... tapi Taya jangan panggil saya Ibu.. panggil saja Tante ya?" tanya bu Fitri yang kujawab dengan anggukan dan senyuman.
***
Setelah sejam mengelilingi super market, aku, tante Fitri dan Gio akhirnya pulang setelah membayar belanjaan kami.
Tante Fitri yang mengambil alih pembayaran atas belanjaanku. Awalnya aku tidak enak, belanjaanku ini tidak sedikit. Dan benar saja, total belanjaanku kali ini adalah seratus lima puluh lima ribu rupiah. Jumlah yang cukup wah untukku yang anak kos—walaupun berperan sebagai ibu kos, hehe.
Tapi, tante Fitri terus memaksa untuk membayar belanjaanku sekalian. Dengan tidak enak kuterima tawarannya.
"Makasih ya tante udah bayarin belanjaan saya sebanyak ini..." ucapku tidak enak.
"Nggak papa Tay.. malahan tante yang mau bilang makasih karena udah bantuin tante tadi... tante gak kepikiran kalo kamu gak ada gimana nasib tante?" kata tante Fitri dengan senyuman teduh. Ah.. jadi rindu bunda...
"Nggak papa tante... Taya ikhlas bantuinnya..."
Tante Fitri tersenyum, kami lalu bercerita sebentar diluar super market sambil menunggu mobil jemputan tante Fitri.
Saat mobil sudah berada didepan matanya, tante Fitri menaikkan bahan belanjaannya kebagasi. Kubantu ia dan membantu Gio naik kedalam mobil.
Tante Fitri lalu memberiku sebuah kartu nama.
"Ini kartu nama tante ya... nanti main-main kerumah tante ya kalo ada waktu.." kuterima kartu yang diberikan oleh tante Fitri, bercipika-cipiki sebentar lalu kucium tangannya.
Tante Fitri lalu memasuki mobil, meninggalkanku yang berdiri sendiri, bersiap pulang kekosan.
Kuperhatikan kartu nama yang diberikan oleh tante Fitri.
"Fitriani wirawan - Syailendra's Boutique and Bridal House Owner" tulisannya.
Sepertinya aku familiar dengan nama ini... tapi dimana ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Takdir
Чиклитkita tidak tahu jalan yang digariskan Tuhan seperti apa. mau manusia mencoba untuk merusaknya dengan cara apapun, garis Tuhan sudah lurus dan tak bisa dibengkokkan. Seperti kisah Athaya dan Arkandi. dua insan yang merasa bahwa Garis Tuhan benar-bena...