10 - Pulang kampung

13 0 0
                                    

Setelah insiden Melia yang ketus kepadaku dan kuberikan penjelasan panjang lebar—kecuali tentang pak Arkan yang bertanya tentang rencana nikah padaku—akhirnya Melia mengerti dan hubungan kami kembali harmonis.

Hari ini mata kuliah manajemen kelas dan aku harus menelan kekecewaan sebab yang masuk kali ini adalah pak Mulyono.

Baru kali ini dalam sejarah kehidupan kampusku, aku merasa sangat malas untuk masuk belajar.

***

Tidak terasa, akhir semester lima sudah menjelang didepan mata. Sebab hari ini adalah hari terakhir UAS dan itu berarti besok aku sudah bebas.

Aku keluar dari ruang kelas setelah menyetorkan lembar jawabanku kepada pengawas. Berjalan sambil meregangkan badanku yang terasa pegal.

DRRT.. DRRT...

Ponselku bergetar. Nama bunda terpampang disana.

"Assalamualaikum bun..."

"waalaikumsalam kak..nanti pulang kan?"

"Insya allah bun.. pulang kok abis ini.. bunda mau titip sesuatu?"

"Iya kak.. bunda mau titip ambilin kain dibutik temen bunda.. bisa?"

"Bisa bun.. nanti bunda kirim aja alamatnya nanti Taya ambil pas pulang."

***

Dan disinilah aku sekarang. Didalam butik tante Fitri.

"Loh.. Athaya dari kapan?" tante Fitri datang membawa paperbag ditangan kirinya. Kuraih tangan kanannya untuk kusalimi.

"Mau ambil pesenan bunda tan.."

"Ini bu.. ambil pesenan mbak Hana... katanya" mbak Ami—orang dari front table—datang dari arah belakangku dan memberikan nota kepada tante Fitri.

Tante Fitri melihat nota ditangan mbak Ami dan memberikan paperbag tersebut kepadanya.

Mbak Ami langsung memberikan paperbag itu kepadaku.

"Loh.. ini maksudnya gimana?" tanya tante Fitri.

"Adek ini yang mau ngambil pesanan mbak Hana bu..." mbak Ami menunjukku.

Aku hanya tersenyum canggung.

"Loh... kamu Jana? Anaknya Hana?"

Aku mengangguk.

"Astaga... Jana udah gede..." tante Fitri memelukku.

"Padahal ibu udah sering liat mbak ini kesini loh bu.." kata mbak Ami.

"Ya saya baru sadar kalo ini Jana mi.. anak temen saya... makanya pas pertama merhatiin pas dateng sama Melia kok kayak kenal.. ternyata..." tante Fitri kembali memelukku.

Sebenarnya aku juga lumayan terkejut atas fakta ini, tapi wajar setelahnya.

Sudah tidak aneh jika bunda adalah teman lama tante Fitri. Bayangkan saja, waktu itu aku sekeluarga bertamasya ke Jepang dan disana bunda bertemu kawan lamanya semasa kuliah.

Jadi melihat bunda punya kawan lama disini aku sudah wajar. Yang jauh saja bunda kenal. Apalagi yang satu daerah begini?

Aku mungkin tidak akan terkejut jika suatu saat nanti kami bertamasya ke Afrika dan bunda bertemu temannya juga disana.

Kuambil paperbag yang berada dilantai tadi, kembali salim kepada tante Fitri.

"Jana—eh maksudnya Taya berangkat dulu tante.. takutnya ujan ditengah jalan nanti.. soalnya tadi Taya lihat ramalan cuaca dan katanya hari ini bakal ujan..."

Jalan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang