Awan kelabu kembali menggantung dilangit. Sedari tadi pagi hujan gerimis membasahi bumi.
Sebenarnya perasaanku agak sedikit tidak enak. Entah apa yang membuatnya begitu. Tapi aku rasa ada sesuatu yang akan terjadi. Aku gelisah.
"Tay kenapa?" Melia yang pertamakali menyadari keanehanku. Kuberikan senyuman kecil padanya. Mengatakan 'gue gakpapa' dari tatapan mataku.
"Atha, Melia sudah siap?" mas Arkan datang dari dalam membawa tas milikku. Aku mengangguk. Perasaan aneh ini membuatku malas membuka mulut.
"Tha.. kenapa? Sakit?" tanya mas Arkan yang menatapku khawatir.
"Atha gakpapa mas.. gakpapa.. ayo jalan.. nanti hujannya keburu deras..." kuusap lengannya dan berjalan duluan kearah mobil duduk disamping kursi kemudi dengan tatapan lurus.
Mas Arkan menyusul setelahku. Lalu Melia.
Melia yang daritadi mengajakku berbicara ikut terdiam.
Kami berangkat dengan keadaan hening.
Entah pikiran apa yang sedang bergelayut didalam otakku.
Bayangan tentang nenek tiba-tiba datang. Aku jadi rindu nenek..
Selama aku berada dikampung, hampir setiap hari selepas makan siang aku akan main disana. Bahkan sesekali menemani nenek makan siang yang tinggal dengan adik bunda, tante Bila dan suaminya.
Aku memang sangat dekat dengan nenek. Kata saudara dan sepupuku yang lain, aku adalah cucu kesayangan nenek.
Aku jadi teringat tentang percakapan kami tiga hari lalu. Saat itu aku sedang menemani nenek yang sedang memberi makan ayam-ayamnya yang berada didalam kandang dibelakang rumah nenek.
"Jana sekarang sudah umur berapa?" tanya nenek padaku.
"Hmm... dua puluh dua nek..."
"Bundamu dulu juga nikahnya umur-umur segitu.. dua tiga apa dua empat ya? Lupa nenek.. tapi setahun setelah lulus kuliah, dia nikah sama ayahmu.. ayahmu itu seniornya bundamu dulu dikampus.." cerita nenek. Aku lumayan tertarik. Sebab bunda dan ayah tidak pernah bercerita apa-apa tentang perkenalan mereka dulu.
Kubantu nenek untuk kembali duduk dikursi rotannya. Masuk kedalam dan membawa teh yang kuseduh kembali kesamping nenek.
"Terus.. terus gimana nek?" tanyaku lagi.
"nenek tanya sama bundamu... sudah berapa lama pacaran sama Dirwan? Dijawab udah setahunan gitu.. trus bundamu bilang lagi.. katanya ayahmu akan datang melamar seminggu lagi... nenek kaget banget... bilangnya udah pacaran setahun tapi nenek gatau, trus tiba-tiba bilang kalo mau dilamar.." nenek menyesap teh pemberianku.
"abis ngomong gitu, besoknya ayahmu dateng bawa martabak.. mungkin dibilangin sama bundamu kalo nenek tuh suka banget makan martabak.. dulu mah martabak cuman 2 kalo gak kacang ya gula.. tapi dibawain dua-duanya..." kata nenek sambil sedikit terkekeh.
"awalnya nenek mikir kalo Dirwan ini cuma mau.. apa itu namanya anak muda sekarang bilang? Mau nyogok nenek supaya lamarannya ke nenek diterima?" tanya nenek.
"modus nek?"
"nah iya itu.. tapi setelah nenek cerita-cerita sama Dirwan.. nenek rasa.. dia orang yang tepat untuk bundamu. Abis itu dia pulang dan bilang akan datang seminggu kemudian untuk melamar Hana ke nenek dan kakek.. dan ya...seminggu kemudian dia datang bersama keluarganya. Melamar bundamu secara resmi.."
"nenek senang banget.. sebulan kemudian mereka menikah.. dan gak lama mereka punya abangmu... awalnya bunda pikir mereka cuma mau punya anak Juna aja... tapi nenek mikirnya gakpapa.. udah ada abangmu juga.. eh setelah lima tahun kamu lahir dan tiga tahun kemudian Juni hadir.. nenek seneng banget.." nenek memelukku lalu kubalas pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Takdir
ChickLitkita tidak tahu jalan yang digariskan Tuhan seperti apa. mau manusia mencoba untuk merusaknya dengan cara apapun, garis Tuhan sudah lurus dan tak bisa dibengkokkan. Seperti kisah Athaya dan Arkandi. dua insan yang merasa bahwa Garis Tuhan benar-bena...