6 - Makan siang

11 0 0
                                    


Pagi ini Melia menyeretku kekampus padahal hari ini sedang tidak ada kelas sama sekali.

Pergelangan tanganku sudah lumayan membaik. Lebamnya sudah hilang, bersisa nyeri sedikit.

Gadis manis itu menyeretku ke gedung A lantai dua. Tempat anak-anak UKM Seni tari berkumpul untuk rapat.

"Kok gue diseret kesini sih Mel? Gue kan bukan panitia..." aku menggerutu saat sudah sampai disana. Kulihat ada beberapa temanku dari jurusan dan fakultas lain yang ikut berkumpul.

Ah aku lupa..

UKM Seni tari yang akan tampil untuk acara nanti adalah UKM Seni tari tingkat universitas. Dimana UKM ini yang menjadi induk dari UKM Seni Fakultas.

"Selamat pagi semuanya..." sapa Kinandra si ketua UKM Seni tari ini.

Kinandra membuka rapat dan mulai membahas agenda untuk kegiatan mereka nanti.

Aku hanya menengok. Toh aku bukan anggota UKM ini, bukan juga panitia pelaksana Hari Jadi kampus. Aku hanya bagian dari Dewan pengawas mahasiswa alias DPM yang akan turun tangan untuk mengawasi acara dihari H nanti.

Pikiranku kembali melayang kekejadian kemarin.

Saat pak Arkan memberikan koyo itu untukku.

Manis banget gak sih?

Pak Arkan menyodorkan koyo dengan tatapan lembut bercampur khawatir.

Astaga.. kuyakin pipiku bersemu merah lagi.

Benar-benar jatuh cinta pada dosen kaku itu aku..

Tapi apa aku pantas? Duh Taya jangan terlalu berharap! pak Arkan sudah bilang kan? Koyo itu hadiah untukku karena sudah membantunya mengerjakan pekerjaannya?

Ah sudahlah! Aku tidak ingin bermimpi terlalu tinggi.

Melia menepuk lenganku, membuyarkan lamunanku terhadap pak Arkan.

"Heh... ngapain ngelamun lu? Kesambet baru tau rasa!"

"Siapa yang melamun sih? Ayo balik sekarang!" kuambil totebag dibawah kursi dan bersiap keluar kelas sebelum tanganku ditarik oleh Melia.

"Temenin gue dulu ngambil perintilan anak-anak..." Melia menatapku dengan puppy eyesnya.

"Lah ngapa gue? Gue bukan anak UKM tari sayangku.."

"Gue kan kebagian ngurusin perintilan Tay... yang lain udah bagi-bagi tugas.. ayolah..." bujuknya lagi dengan nada memelas.

Oke, Melia paling tahu titik kelemahanku.

Aku mendengus pelan, mengangguk lalu berjalan keluar kelas dengan malas.

"Yey! Maaciw sepupuku yang paling pengertian! Gue yang bayar deh  kesananya!" Melia mengejarku lalu bergelayut dilenganku.

Ewh.. aku sudah mulai jijik jika Melia mulai sok manja seperti ini.

***

Taksi kami berhenti disebuah butik besar ditengah kota.

Plang tulisan 'Syailendra's Boutique and Bridal House' terpampang besar didepan sana.

Aku ingat, pernah diberikan sebuah kartu nama dengan nama yang sama dengan yang tertera di plang. Kurogoh tasku cepat dan menemukan kartu nama berwarna putih dengan aksen emas disekelilingnya.

Benar ini milik tante Fitri.

Melia menarikku masuk kedalam setelah memperbaiki penampilannya.

Setelah kami masuk, atmosfir berbeda langsung terasa disini.

Jalan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang