Pak Arkan berkilah bahwa ia tidak bisa pulang sendiri dengan alasan masih pening. Dan disinilah aku, dibelakang roda kemudi miliknya.
Kami masih diam-diaman sejak kejadian dirumah sakit tadi.
Pak Arkan hanya membuka mulut ketika memberikan petunjuk jalan.
Kami sudah sampai disebuah kompleks perumahan megah.
"Yang warna putih" tunjuknya pada sebuah rumah yang berada disebelah kanan.
Aku berhenti sebentar didepan pagar. Membunyikan klakson untuk pertanda bahwa ada yang menunggu untuk dibukakan.
Setelah pagar tinggi itu terbuka, kumasukkan mobil kedalam pekarangan rumah pak Arkan.
Aku terkesima.
Aku bukan orang yang norak belum pernah lihat rumah sebesar ini. Tidak.
Aku hanya kagum pada arsitekturnya saja.
Kemarin saat mampir untuk makan siang disini aku tidak memperhatikan detail rumah ini karena langsung digiring keruang makan oleh tante Fitri.
"Saya duduk seharian dalem mobil gak papa kok.." sindir pak Arkan.
Aku sadar, daritadi hanya bengong saja. Jadi aku keluar dari belakang kemudi. Membuka pintu penumpang bagian depan dan membantu pak Arkan berjalan.
Kubantu pak Arkan masuk kedalam rumahnya dengan sedikit lebih mudah. Sebab pak Arkan yang sekarang berbeda dengan yang dalam kondisi setengah sadar tadi.
"Bang... kenapa lu?" sebuah suara pria menginterupsi langkah kami.
Ada seorang pria dengan setelan rumahan—celana bola dan kaos oblong—berdiri didepan kami.
"Ma! Ini bang Arkan ma!" teriaknya tak lama melihat wajah abangnya sedikit pucat.
Pria itu membantuku membopong pak Arkan keruang tengah. Mendudukkannya disana.
Kuangkat kaki milik pak Arkan menaikkannya keatas sofa dan membaringkan kepalanya diujung sofa.
Seorang wanita lari tergopoh dari arah dalam sambil membawa centong.
"Astagfirullah abang.. kamu kenapa nak?" tante Fitri memeluk pak Arkan yang berbaring disofa.
"Abang gakpapa ma.. udah dibawa kerumah sakit tadi.." jawab pak Arkan.
"Jadi gara-gara ini abang tadi nelfon mama berkali-kali?"
"Hah? Siapa yang nelfon mama?" tanya pak Arkan.
"Kalo bukan abang siapa dong?"
Tatapan tante Fitri lalu tertuju kepadaku yang berdiri dipinggir sofa. Wanita paruh baya itu sepertinya baru sadar akan keberadaanku.
"Loh ada Taya.."
"Assalamualaikum tante.." kusalimi tangan tante Fitri.
"Athaya yang bawa abang kerumah sakit..." jelas pak Arkan saat melihat tatapan bingung tante Fitri.
"Makasih ya Taya... udah nolongin Andi... duh tante hutang banyak sama kamu..." tante Fitri menjatuhkan centongnya lalu memelukku.
"Nggak papa tante... Taya ikhlas.. kan sudah kewajiban setiap orang saling membantu"
"Kemarin Taya tolongin tante.. sekarang nolongin Andi... memang ya.. kamu nih pahlawan banget"
"Andi.. siapa tan?" tanyaku. Andi itu... bukan pak Arkan kan?
"Andi ya ini" tunjuk tante Fitri pada pak Arkan yang sedang asyik memainkan ponselnya.
"Andi tuh nama rumahnya Arkan Tay..." jelas tante Fitri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Takdir
ChickLitkita tidak tahu jalan yang digariskan Tuhan seperti apa. mau manusia mencoba untuk merusaknya dengan cara apapun, garis Tuhan sudah lurus dan tak bisa dibengkokkan. Seperti kisah Athaya dan Arkandi. dua insan yang merasa bahwa Garis Tuhan benar-bena...