Dua Belas

54 7 2
                                    








Jiyana melipat tangan didepan dada, memandang Mark penuh curiga dari balik pagar rumahnya. Dia melangkah kedepan, kemudian menyender pada pilar pagar tanpa berniat membuka.

Cowok ini ngapain malam-malam kerumahnya? Semenjak terakhir perkelahian cowok itu dengan Jebi, Mark gak pernah kerumahnya bahkan jika Juan sendiri yang mengajak Mark tetap menolak. Tapi yang satu ini jelas beda.

"Juan gak ada disini." Tebaknya, menyebutkan nama sepupu yang memang sering kesini.

"Bukan Juan." Mark bersuara, Jiyana semakin waspada. Dia menegakkan badan, menunggu Mark melanjutkan.

"Lo kenal Windy udah berapa lama?"

Alis Jiyana terangkat. Ah! Pacar Mark yang sekarang yah.

Cewek itu menipiskan bibir lantas membuka gerbang mempersilahkan cowok dan motornya masuk ke area rumah. Namun Mark tak bergeming, masih setia berdiri disamping motornya membuat Jiyana harus menghela nafas.

"Dirumah ada orang tua gue. Gak bakal ada yang salah faham kalau lo kesini malam-malam begini." Begitu katanya sebelum berbalik badan, membiarkan pagar terbuka lebar menunggu Mark untuk masuk. "Windy kan? Panjang kalau cerita disini." Tambahnya saat Mark masih terlihat enggan beranjak dibelakangnya.

Mark tak banyak bicara, hanya mengamati punggung itu menjauh kemudian mengikuti. Ia menguatkan hati, tekadnya sudah bulat. Dia ingin melanjutkan ini.

Dia harus cari tahu.
















"Dah Win."

Windy tersenyum, melempar lambaian tangan pada salah seorang teman yang lebih dulu keluar kelas. Ia juga merapikan meja, mengecek barang-barang dalam tas sebelum akhirnya ikut keluar kelas seperti yang lain.

Jam kuliahnya udah abis, masa iya dia tetap disini jadi penunggu kelas?

Begitu keluar pintu ia berbelok, pas sekali bertemu Mark dan Jiyana disana. Windy lekas berhenti diantara keduanya, menurunkan senyum ketika Jiyana justru pergi sebelum dia sampai.

"Loh kok pergi?" Tanyanya spontan. Mark disamping cewek itu, memandang Windy dan Jiyana bergantian.

"Kan mau pulang." Jawabnya biasa saja. Dia melirik arloji, diam-diam melirik Windy yang mengangguk-anggukan kepalanya sendiri menyetujui ucapan Mark barusan tanpa sadar jadi terkekeh.

Ck, cewek ini.

Mark menegakkan badan, gak lagi menyender pada tembok kini menghadap Windy sepenuhnya. "Kamu mau langsung pulang?"

Windy tersentak, matanya mengerjap pelan kebingungan. Tadi Mark beneran bilang 'kamu' ke Windy? Seriusan?

"Win," panggil Mark lagi, kali ini mendekat membuat Windy refleks mundur. "Kenapa?" Tanyanya aneh.

Windy gelagapan, jadi berdehem pelan mengatur suaranya. "Gak papa, gue gak papa." Katanya tersentak kemudian menggeleng cepat "Eh aku."

Sekali lagi Mark terkekeh, masih dengan senyum mengulang pertanyaan yang sama "mau langsung pulang?"

Mark itu ganteng, ditambah senyum jadi berlipat ganteng, sekarang pake bahasa yang lebih soft semakin gak nanggung-nanggung gantengnya.

Windy yang emang gampang terpesona jadi takut ketahuan baper.

"Ah.. Aku kayaknya mau ketoko buku dulu. Mau beli sesuatu." Jawab Windy mulai mengikuti alur. Kalau gini kan semakin kelihatan kayak pacaran beneran mereka.

Mark mengangguk, lantas mengusuk puncak kepala Windy "Oke." Katanya singkat sebelum mereka benar-benar keparkiran.

Windy gak tau apa yang buat Mark berubah manis kayak gini. Dimulai dari ngubah panggilan mereka jadi aku-kamu sampai Mark yang entah gimana jadi kelihatan aktif bicara, bahkan mendominasi obrolan kali ini. Bukannya gak suka, justru dia senang tapi tetap saja dia penasaran. Kenapa Mark tiba-tiba berubah gini? Jadi lembut gini? Jadi gemesin gini?

LANGIT CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang