Cara Rey

98 10 2
                                    

Seminggu adalah waktu tersingkat bagi Vatra dan Meilda untuk memilih jalan tentang kedekatan mereka. Vatra belum memperjelasnya, tapi dia punya rencana manis yang sudah tersusun rapi dalam ingatan. Tinggal menunggu waktu yang tepat saja.

Kini, Meilda sering menghabiskan waktu bersama Vatra dan juga yang lain di sela kesibukan Osis. Meilda selalu menyamankan diri berada di tengah keramahan adik-adik kelasnya itu. Terutama sifat supel dan lawak dari Agil dan Candy, menjadi hiburan tersendiri bagi Meilda. Ternyata, semenyenangkan ini berbaur dengan laki-laki.

Hari ini, Meilda baru saja selesai kegiatan Osis. Mereka mengadakan rapat yang dipimpin oleh Rania sebagai Ketua. Berbicara tentang Rania, belum ada perubahan di antara persahabatan mereka. Baik Rania maupun Meilda, mereka masih menjaga jarak. Meski ada tatapan rindu di mata keduanya. Rindu bicara, rindu kembali menciptakan tawa. Ingin berbaikan, namun selalu kalah dengan ego masing-masing.

Setelah rapat bubar, Meilda keluar dari ruangan. Dia tersenyum senang mendapati Vatra menunggunya begitu sabar.

"Udah selesai?" tanya Vatra sesaat melihat Meilda baru saja keluar. Meilda mengangguk cepat.

"Kamu bisa nunggu di parkiran."

"Nggak apa-apa. Biar aku bisa liat aktivitas kamu di dalam."

"Bucin!" Cibiran Meilda menciptakan gelak tawa renyah dari Vatra.

"Itu tau," jawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya menggoda Meilda.

"Pulang. Aku pusing rasanya," keluh Meilda yang menarik tangan Vatra tanpa canggung.

"Ayo."

Di balik pintu, Rania menatap kepergian dua remaja tersebut. Tatapannya sendu bahkan sedikit tarikan di sudut bibirnya. Senyum miris. Rania menghela nafas sebelum akhirnya bergegas pulang dengan perasaan tidak menentu.

Sesampainya di rumah Meilda, Vatra masih diam di atas motor ketika Meilda sudah turun. Gadis itu berdiri di samping Vatra yang melepas helmnya.

"Nggak mampir dulu?" Tawaran itu hampir saja disetujui Vatra kalau tidak mengingat Meilda butuh istirahat.

Dia menggeleng. "Lain kali aja. Kamu harus istirahat," suruhnya. Vatra gemas sendiri melihat lucunya Meilda berkedip-kedip karena terik matahari. "Masuk sana. Nanti aku khilaf bawa kamu ke rumah."

"Serius nggak mampir?"

Meilda menguji pertahanan Vatra. Bahaya!

"Tumben manja hari ini?" Vatra menatap curiga. Yang ditatap langsung kelabakan.

"Eh, manja apa? Aku niat cuma nawarin kamu minum kalau mau mampir," kilahnya.

Vatra tertawa. Tangannya mencubit pipi Meilda yang sedikit berisi.

"Bohong banget, sih? Aku nggak mampir sekarang, tapi besok. Soalnya aku mau cari pesanan bunda."

"Iya udah. Kamu hati-hati."

"Iya, Sayang."

Deg. Jantung Meilda berdebar dipanggil sayang. Astaga, apa dia sedang kasmaran?

Tidak lupa juga Vatra mengusili puncak kepala Meilda sebelum akhirnya pergi diiringi lambaian tangan. Meilda menepuk pipinya gemas. Terasa panas efek matahari atau ... lupakan! Tapi tidak bisa! Bibirnya terus tertarik tanpa perintah. Ya ampun, Vatra kenapa manis banget, sih?

Hanya berlalu beberapa menit semenjak kepulangan Vatra, pintu rumah diketuk. Meilda yang belum mengganti pakaian karena baru saja mengambil minum seketika bingung. Dia berpikir siapa yang datang. Tidak mungkin Vatra, kan?

Meilda menaruh gelas di meja. Dia menuju sumber suara. Perlahan tapi pasti, tangannya memutar kunci dan menarik gagang pintu. Nafasnya tercekat saat matanya bertubrukan dengan seseorang. Pegangan pada pintu mengerat hingga menampilkan urat-urat di tangan. Tatapan terkejut sekaligus benci tampak jelas.

"Sayang." Alunan suaranya terdengar lembut, tapi tidak bagi Meilda. Suara itu tidak ingin dia dengar, begitu juga orangnya. Entah kenapa tubuhnya membatu. Dia ingin menutup pintu agar orang itu tidak masuk.

"Ini Mama, Sayang." Air mata wanita yang mengaku mamanya meluncur mulus. Meilda bisa melihat gurat lelah di wajah wanita itu. Tampak mulai menua. Meilda merasakan kedua matanya berkaca-kaca. Jujur saja, dia belum mau bertemu sang mama saat ini. Tapi melihat Rey yang juga datang, semakin meyakinkan Meilda bahwa ini adalah cara Rey mengusiknya.

Wanita itu semakin mendekat hendak memeluk putrinya yang semakin cantik tanpa bisa mendampingi Meilda. Baru saja tangan itu menggapai Meilda, namun segera ditepis oleh Meilda.

"Jangan sentuh aku." Penolakan itu membuat mamanya terpukul. Rey bereaksi membela tante Lani.

"Beliau mama kamu, Meilda. Nggak sepantasnya kamu kasar," sela Rey.

"Dia pembunuh papaku! Gara-gara dia, papa meninggal!" Sentakan emosi membuat tubuhnya gemetar. Sebersit kenangan lama kembali terbuka. Fakta yang selalu membuatnya marah adalah papanya meninggal karena mamanya. Dan dia benci hal itu.

"Itu takdir, Meilda. Kamu nggak bisa menyalahkan tante Lani atas meninggalnya papamu!"

Meilda tertawa sinis. Matanya memerah. Dia benar-benar tidak bisa menahan diri.

"Takdir bahwa papaku meninggal karena dia!"

"Cukup!" Wanita paruh baya tersebut menginterupsi pertengkaran Rey dengan putrinya. "Mama minta maaf, Sayang."

Meilda menggigit bibirnya kesal. "Maaf Mama udah nggak berguna. Mama bahkan nggak ada di samping aku untuk nemenin papa. Papa salah apa sama Mama?"

"Mama yang salah, Nak. Papamu orang baik."

"Mama tau kalau papa orang baik. Tapi kenapa harus disakiti? Meilda sakit juga Ma. Meilda merasa malu punya ibu seperti Mama."

"Meilda!"

"Kamu diam! Ini cara kamu menghancurkan aku, kan, Rey?! Puas kamu? Jawab aku!"

Rahang Rey mengencang. Ingin bicara kasar, tapi dia bertujuan ke sini adalah mempertemukan ibu dan anak tersebut. Rey tidak mau terbawa emosi karena dia ingin melihat Meilda yang emosi.

"Sunshine-"

"Jangan pernah panggil aku dengan nama itu. Aku muak sama kamu, Rey."

"Meilda, anak Mama."

"Pergi Ma. Meilda mohon jangan temui aku lagi."

"Kamu-"

"Nak Rey, udah. Kita pergi dulu dari sini. Mungkin Meilda butuh waktu untuk bicara sama Tante," ucap tante Lani mengalah.

Rey melirik Meilda yang mematung. Dia sempat menyunggingkan senyum mengejek, dan tentu saja gadis itu melihatnya. Memastikan mereka telah pergi, Meilda menutup pintu hingga menimbulkan debuman keras. Tubuhnya meluruh di lantai. Tangisnya pecah.

Sakit sekali rasanya. Melihat mamanya seperti itu. Meilda rindu, tapi rasa benci itu terlalu besar hingga dia tidak tau caranya memaafkan.

"Maafin Meilda, Mama."

.
.
.
.
Tbc.

DenyutWaktu

Kak, Jadian Yuk! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang