Bisik-Bisik Orang Iri!

140 12 0
                                    

Nggak usah dengerin cibiran orang! Maklum mereka envy karena jomblo! Nggak kayak gue yang otw unjomblo!

~~tipsalavatra!~~

"Sumpah, lo gila! Nggak mau lagi gue dibonceng sama lo!" Meilda menggerutu ketika mereka baru saja sampai di sekolah. Vatra melepas helmnya dan meletakkan helm itu di atas motor.

"Kalau aku nggak ngebut, takut macet Kak," jawab Vatra yang membela diri.

Tadi, sekitar pukul 06.15 Vatra sudah stand by di depan rumah Meilda. Menunggu cewek itu dengan tidak sabar. Sampai-sampai bunda Nasha heran melihat anak tunggalnya itu bangun pagi bahkan berangkat sekolah juga lebih awal. Kalau bunda Nasha saja heran, bagaimana dengan Meilda?

Cewek itu sampai kaget. Dia kira ucapan Vatra kemarin hanyalah omong kosong sebagai tanda keisengan semata. Tapi dia salah. Di adegan ingin berangkat bersama, dua remaja beda usia itu pun harus adu mulut lebih dulu. Ketika Vatra menang karena ada acara suit, jadilah Meilda mengalah karena lelah.

Tapi sayang, emosinya masih ada bahkan semakin membara ketika di pertengahan jalan menuju sekolah. Di saat Vatra mengebut hingga Meilda sulit bernafas karena terpapar angin pagi terlalu kencang. Makanya sepanjang jalan cewek itu marah-marah sampai di parkiran sekolah.

"Kalau gue sampai mati susah nafas gimana? Lo mau tanggung jawab?!"

"Nanti aku kasih nafas buatan, gampang, kan?" jawab Vatra tampak begitu santai.

Meilda mengepal kedua tangannya, ingin sekali dia menonjok bocah tengil itu, tapi ingat, Meilda masih punya rasa "tegaan".

Menahan amarahnya semakin meledak, Meilda menghela nafas yang terdengar kasar.

"Kak," panggil Vatra agak khawatir saat melihat wajah Meilda memerah.

Meilda menatap Vatra begitu tajam, sampai rasanya matanya mampu menyayat siapa pun yang melihat tatapan maut itu. Oke, itu terlalu berlebihan.

"Maaf."

Meilda melengos, mengabaikan permintaan maaf Vatra. Percuma cowok itu minta maaf sering-sering, toh, nanti diulang kembali.

Vatra pun mengejar Meilda yang berjalan lebih dulu. Berusaha menyamakan posisinya agar sejajar dengan cewek itu.

Dilihatnya banyak siswa yang mulai ramai. Vatra mengambil kesempatan itu dengan cara meraih tangan kiri Meilda untuk dia genggam. Meilda tersentak merasakan tangannya digenggam. Cewek itu melirik ke arah tangannya yang mana tangan Vatra juga di situ.

"Lo, ngapain?!" tanya Meilda panik.

Vatra menoleh santai lalu tersenyum. "Menurut Kakak, aku ngapain?" tanyanya balik.

Mata Meilda mendadak liar ketika melihat para siswi memperhatikan dirinya dan Vatra. Bisik-bisik pun terdengar. Meilda berusaha melepaskan genggaman tangan itu.

"Lepas!" desis Meilda kesal.

"Nggak mau."

"Vatra, lo jangan bikin gue marah, ya!"

"Kenapa, sih, Kak? Kakak malu jalan sama aku?" tanya Vatra tidak suka.

"Lo sama gue bukan siapa-siapa. Jadi nggak usah sok dekat!"

Vatra mengubah raut wajahnya menjadi datar, menatap Meilda dengan pandangan tidak suka.

"Udah aku bilang kalau aku suka sama Kakak. Please buka hati Kakak buat aku, bisa, kan?"

"Gue nggak mau sampai kapan pun!"

Vatra memejamkan kedua matanya seakan menahan kekesalannya. Dia melihat sekitar koridor yang dipenuhi para siswi sedang menyaksikan adegan dirinya dan Meilda adu mulut.

"Apa liat-liat?!" sembur Vatra. Para siswi itu pun langsung bubar. Seakan takut melihat Vatra marah.

"Kok lo yang marah? Harusnya gue yang ngomong gitu!"

Vatra menarik tangan Meilda tanpa memperdulikan pekikan cewek itu yang meminta tangannya dilepas.

Di sinilah mereka, berdiri di ujung koridor yang ada tangga untuk menuju rooftop sekolah ini.

"Ngapain lo bawa gue ke sini?" Meilda bersedekap sembari menatap sinis cowok itu.

"Kita butuh bicara serius," jawab Vatra.

Meilda berdecak. "Buat apa? Buang-buang waktu tau nggak!"

"Bisa nggak kamu bersikap lembut sekali aja?"

Meilda tersentak mendengar nada suara Vatra yang berubah serius dan berat. Panggilan "kakak" pun terganti jadi "kamu".

"Lembut? Kenapa, lo nggak suka gue begini?!" Seakan tidak takut dengan raut wajah Vatra yang berubah, Meilda menantangnya diiringi alis yang terangkat, meremehkan Vatra.

Vatra menyunggingkan senyum miring di sudut bibirnya. Memajukan langkahnya perlahan. Meilda mendadak panik sampai dia melangkah mundur untuk menjaga jarak.

"Jangan macem-macem!"

"Atau dengan cara ini kamu bisa lebih santai?"

Vatra semakin dekat, bahkan punggung Meilda sudah menempel di tembok yang dingin. Tangannya berada di depan untuk menahan dada Vatra agar tidak tambah dekat. Jarak mereka sangat intim, kalau ada yang melihat pasti dikira lagi berbuat hal-hal yang tidak baik.

"Lo, sadar!" seru Meilda yang kelewatan panik. Segalak apa pun dirinya, dia bakalan kalah sama situasi seperti ini. Apalagi ini di sekolah, bisa bahaya jika ada yang melihat. Untungnya tidak ada cctv di dekat situ.

"Sejak kapan Kakak peduli sama cibiran orang, hm?"

"Vatra, nggak lucu, ya! Kalau ada yang liat gimana!"

"Kakak takut sama mereka?"

"Vatra."

"Jawab aku, kenapa kamu nggak mau nerima aku?"

"G-gue-"

"Jangan gugup, aku nggak akan macem-macem."

"Vatra ... Please," mohon Meilda yang tampak berkaca-kaca. Sesaat, Vatra tertegun. Dia mengambil jarak ketika melihat mata indah itu meneteskan air mata.

"Kak." Vatra khawatir. Dia meraih pipi gadis itu namun ditepis.

"Lo nggak tau apa pun tentang gue, jadi gue mohon jangan ganggu gue lagi." Meilda menghapus air mata itu dengan gerakan kasar. Kemudian pergi meninggalkan Vatra yang terdiam. Sungguh sikapnya barusan hanyalah candaan, tidak berniat untuk membuat Meilda seperti itu. Vatra mengacak-acak rambutnya. Bodoh!

Meninggalkan tempat itu, Vatra menuju kelas dengan hati tidak tenang. Dia baru saja membuat kakak cantiknya menangis dan itu kebodohannya sendiri. Shit!

Baik Vatra atau Meilda tidak menyadari ada orang lain yang melihat mereka di ujung koridor. Menampakkan tatapan yang sulit diartikan sembari mengigit bibir bawahnya ketika melihat kedua orang itu pergi.

.
.
.
.
Bersambung....

Sehat selalu.

Kak, Jadian Yuk! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang