Ruang Bicara

112 10 2
                                    

Lagi oleng pengen up. Happy reading.

***

Rey menampilkan tatapan penuh selidik pada Meilda yang tengah duduk di hadapannya. Gadis itu menunduk dalam, membungkam mulutnya rapat. Setelah kepulangan Vatra beberapa menit lalu, Meilda melihat raut wajah Rey berubah tidak baik. Meilda yakin ada sesuatu yang terjadi dalam percakapan dua lelaki tadi. Meski Vatra sempat melempar senyum lebar, Meilda tidak yakin kalau Vatra juga baik-baik saja.

"Berapa lama?" Pertanyaan Rey membuat Meilda mengangkat wajahnya. Tampaknya Meilda bingung. "Kalian dekat," sambung Rey.

"Sebulan, mungkin."

"Meilda," panggil Rey. Gadis itu membalas tatapan Rey was-was. "Apa kamu masih mencintai aku?"

Jantung Meilda rasanya berubah tekanan ketika memompa darahnya. Tunggu, ini terasa menyesakkan. Pertanyaan Rey lebih privasi saat ini. Apa dia masih mencintai Rey? Apa....

"Jawab aku," desak Rey tidak sabaran.

"Rey ...."

"Apa karena dia makanya kamu berubah perasaan?" tuduh Rey langsung. Meilda mengepalkan kedua tangannya erat. Dia menelan salivanya susah payah. Suasana kamar rawat ini sangat canggung.

"Aku menolak dia," jawab Meilda pelan. Meilda menggigit bibirnya. Pikirannya melayang pada sore kemarin, ketika Vatra meminta dirinya jangan memaksa Vatra berhenti. Meilda takut.

Rey tersenyum puas. Dia menggenggam tangan Meilda sebagai penyaluran rasa leganya. Setidaknya dia selangkah lebih baik dari Vatra. Seperti yang Rey katakan bahwa Meilda hanya miliknya.

"Aku bersyukur kamu masih menunggu aku kembali," ucap Rey. Meilda memaksa untuk tersenyum. Dia sejujurnya bingung sekarang. Selama Rey kembali, Meilda masih berusaha menanyakan alasan Rey pergi dua tahun lalu. Namun, Rey tidak pernah mau menjawabnya dengan benar. Meilda sungguh penasaran. Dan entah kenapa, awalnya Meilda senang Rey kembali. Tapi semenjak kemarin, Meilda agak bimbang. Itu semua karena satu orang, yaitu Vatra.

***

Di sekolah, Vatra bersikap normal. Dia tidak lagi berubah sok tsundere seperti beberapa hari lalu. Vatra sedang menata hati sembari terus menyusun rencana apa saja untuk memantau Meilda ketika bersama Rey. Anggap saja Vatra bodoh sekarang. Bisa-bisanya dia mengawasi dan nekat untuk tetap siap sedia ketika Meilda butuh penopang. Tapi percayalah, Vatra sudah berjanji untuk ini. Dia tidak akan berhenti, karena Vatra tau bahwa Rey bukan laki-laki yang cocok untuk Meilda.

Bel istirahat berbunyi. Vatra berniat ke kantin bersama tiga temannya itu. Tumben, tenggorokannya terasa kering. Mungkin karena dipakai berbicara saat presentasi di depan kelas barusan. Soalnya Vatra jadi pemateri, makanya banyak suara yang dia keluarkan.

"Candy, awas, gue di sini loh!" Agil mendorong Candy karena lebih dulu menempati kursi di samping tembok. Agil tidak terima karena itu adalah tempat duduk langganannya.

Candy berdecak kesal. Dia mencubit lengan Agil hingga cowok itu mengaduh sakit. "Mampus!" maki Candy.

"Setan, lo, emang!" balas Agil tidak terima. Mereka sempat membalas cubitan di berbagai tempat, hingga suara Diaz menginterupsi kehebohan dua cowok itu.

"Ya Allah, berenti napa, sih! Lo berdua kurang kerjaan banget!" Diaz menggerutu sambil menatap Agil dan Candy sebal.

"Dia, nih, suka banget nyubit gue!"

"Lo, sih, pelit banget jadi manusia!"

"Panas gue liat lo berdua. Mau pesen apa, buru!" Kali ini Vatra ambil suara. Melihat pertengkaran tidak penting itu membuatnya tambah panas saja.

"Es campur ajalah. Enak banget," jawab Agil cepat.

"Samain aja," tambah Diaz. Vatra berdiri dari duduknya. Dia memesan empat porsi es campur. Karena yang berjualan tidak begitu ramai dikerubungi pembeli, Vatra sudah kembali membawa es ke meja mereka.

"Wah, makasih, Bos!" seru Candy sembari meraih es miliknya.

Baru dua kali suapan Vatra menikmati es campur yang menggoda itu, tiba-tiba datang Meilda yang sudah berdiri di sampingnya. Semua mata empat cowok itu melihat ke arah Meilda dengan berbagai ekspresi. Vatra mengerutkan kening bingung.

"Boleh ngobrol bentar, nggak?" tanya Meilda pada Vatra. Cowok itu mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu melirik Diaz. Melihat anggukan sekilas dari Diaz, Vatra mengiyakan permintaan Meilda. Melihat kepergian Vatra dan Meilda yang entah mau ke mana, Agil dan Candy bertanya pada Diaz. Namun jawaban Diaz hanya berupa perintah untuk diam saja.

***

Semilir angin mengenai wajah keduanya. Rambut Meilda yang digerai berkibas liar. Vatra menuruti ke mana Meilda membawanya. Ternyata mereka berakhir di rooftop sekolah.

"Ada apa?" Suara Vatra mengalihkan atensi Meilda yang menunduk diam beberapa menit lalu. Gadis itu menatap Vatra dengan tatapan sayu. Vatra curiga kalau Meilda sedang tidak baik. Vatra tidak tahan, dia memberanikan diri merangkum sisi wajah Meilda dengan gerakan pelan.

"Maaf." Kata itu membuat Vatra semakin bingung. "Maafin sikap Rey."

Vatra tau sekarang. Jadi ini sebabnya Meilda mau susah payah menemuinya hanya untuk mewakilkan kata maaf Rey padanya.

"Jangan khawatir, aku baik-baik aja. Nggak ada apa pun yang terjadi antara aku dan Rey," ucap Vatra menenangkan kegundahan Meilda saat ini. Meilda mengangguk pelan.

"Gue cuma beban buat lo, Tra. Gue nggak pantes buat lo," jelas Meilda. Ada tatapan kecewa di mata Vatra, dan Meilda tau, sangat tau.

"Aku nggak suka kamu ngomong kayak gitu. Pantas atau nggak, kamu nggak bisa mengukur melalui perspektif kamu. Aku tulus sayang sama kamu, Kak." Pernyataan Vatra begitu tegas, tidak ada keraguan sedikit pun di sana.

"Vatra."

"Aku tau kamu punya dia. Tapi, apa aku nggak boleh untuk tetap jaga perasaan ini? Apa aku salah menyukai kamu? Kalau aja aku bisa bunuh perasaan ini pakai racun, aku bakal lakuin itu." Vatra menggeleng. "Tapi nggak bisa."

Air mata Meilda mengalir. Dia tersentuh dengan ucapan Vatra. Tapi, Meilda tidak bisa membiarkan Vatra berjuang sendirian, sementara dirinya ditahan oleh Rey.

"Jangan nangis, aku nggak suka kamu nangis karena pilihanku." Vatra mengusap tetesan air mata itu. Dia tersenyum hangat pada Meilda. Lalu tanpa berpikir, tanpa keraguan, Vatra menarik Meilda dalam pelukannya. Untuk pelukan kedua mereka. Meilda menangis di sana, mengepal erat kedua tangannya di samping tubuh. Seolah menahan untuk tidak membalas pelukan hangat itu.

"Aku tetep sayang sama kamu. Jangan merasa sendiri. Ada aku di belakang kamu. Cari aku kapan pun kamu butuh, hm?" bisik Vatra. Meilda hanya diam tidak membalas perkataan itu. Hanya tangisnya yang terdengar. Seakan bersuara bahwa Vatra sangat baik, namun Meilda merasa kecil untuk menerima kebaikan itu.

Lo bikin gue bimbang, Vatra.

.
.
.
.
Tbc.

Kak, Jadian Yuk! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang