Pulang dengan pakaian sangat basah, serta tertempel noda darah di jaket, siapa yang tidak histeris melihat Vatra yang belum saja masuk ke rumah. Nasha menangis heboh ketika berniat menunggu anaknya itu pulang sekolah, namun yang didapatkannya adalah Vatra dengan keadaan kacau.
"Jelasin sama Bunda!" Nasha meremas pundak Vatra dengan raut khawatir, takut, dan itu semua terasa campur aduk. Tidak lama kemudian, Ditya menghampiri Nasha dan Vatra di pintu depan. Pria itu memperbaiki kacamatanya yang sempat turun.
"Masuk dulu, kita bicara di dalam," ajak Ditya sembari menutup pintu rumah. Hujan belum usai, gelegar petir masih terdengar ramai di langit gelap. Mereka bertiga berkumpul di ruang keluarga. Vatra menaruh tasnya di lantai, sementara itu dia duduk berdua dengan Nasha yang masih mendesaknya bicara.
"Sayang."
"Maaf." Vatra menunduk, menatap jari-jari tangannya yang mengerut dingin. "Maaf buat Bunda dan Ayah khawatir."
Nasha terisak. Dia menatap suaminya sedih. Ditya mengusap wajahnya, seakan tau apa yang Vatra rasakan saat ini. Vatra kacau untuk pertama kalinya.
"Lepaskan kalau itu menyakitkan." Saran sederhana namun terdengar kasar. Vatra menatap Ditya dengan raut kecewa. "Kamu nggak bisa memaksa dia, Sayang."
"Ayah bilang aku harus berjuang, kan?" Suara Vatra bergetar.
Nasha menggenggam tangan putranya. Mengusapnya perlahan, berharap Vatra bisa tenang. "Berjuang nggak harus membuat kamu lemah, Sayang. Nggak harus membuat kamu terluka," ucap Nasha memberikan pengertian.
Vatra menggigit bibir bawahnya. "Sulit, Bun."
"Ayah tau itu sulit. Tapi, kalau pada akhirnya kamu sakit, apa yang bisa kamu lakuin? Dia nggak akan melihat kamu, Nak."
Vatra terdiam. Dia tidak tau harus apa sekarang. Niatnya untuk tetap ada di belakang Meilda sangatlah besar. Meski dia tidak bisa menjadi orang yang berada di samping gadis itu, setidaknya berada di belakang juga tidak masalah.
Nasha memeluk putranya itu. Dia tidak tau apa yang terjadi dengan penampilan kacau putranya. "Kenapa bisa ada darah? Kamu luka?"
"Nggak, Bun. Aku tadi nolongin pacarnya. Mereka kecelakaan."
"Innalillah," ucap Ditya dan Nasha bersamaan.
"Kayaknya aku mau mandi dulu."
Nasha mengangguk. Dia membiarkan Vatra ke kamar. Ditya menghampiri Nasha, memberikan istrinya pelukan penenang.
"Nggak apa-apa. Jagoan kita kuat," bisik Ditya dengan yakin.
"Vatra udah gede, Yah. Tapi sifatnya masih ceroboh."
"Dia hanya perlu bimbingan. Dari kita, Sayang." Ditya mengecup puncak kepala Nasha. Sama-sama mengerti bahwa putra mereka hanya butuh waktu.
***
Malam pun tiba. Udara khas hujan terbawa angin dan dingin. Malam ini tidak ada cahaya bulan bahkan bintang. Gelap, sunyi, dan hampa. Vatra menghela nafasnya. Dia terlalu banyak berpikir tentang semua yang terjadi. Dirinya, Meilda, dan Rey. Semua itu ... melelahkan.
Vatra menatap Mong yang juga menatapnya dengan posisi meringkuk dalam dekapan Vatra. Kucing lucu itu selalu tau suasana hati tuannya. Mong mengeong, mengibaskan ekor panjangnya di udara.
"Aku nggak baik-baik aja, Mong. Hatiku bilang jangan berhenti, tapi sekelilingku bilang aku harus berhenti. Mana yang harus aku dengar, Mong?" Mong melesak di antara pundak dan leher Vatra. Kucing itu menggemaskan sekali. "Kamu tau ya perasaanku? Makasih."
Vatra tidak yakin dengan ini. Tapi dia tidak mau berhenti jika terpaksa. Meski dia berhenti, hatinya tidak akan tenang. Tidak sebelum Vatra benar-benar yakin dengan keputusannya.
***
Masih dengan pakaian sekolah, Vatra berdiri gelisah di depan ruang rawat Rey. Setelah pulang sekolah, Vatra memutuskan menjenguk Rey. Biar bagaimanapun, ada Meilda juga di sana. Dan Vatra juga ingin tau keadaan gadis itu setelah perbincangan mereka kemarin sore.
Vatra menatap parsel buah di tangannya. Dia baru membelinya tadi ketika perjalanan ke rumah sakit. Vatra masih tau diri ketika menjenguk orang sakit dengan tidak datang tanpa membawa apa pun. Rasanya tidak enak, meski dia sendiri malas dan ... ya, sesuatu yang sulit.
Vatra mengetuk pintu, hingga suara dari dalam ruangan terdengar samar. Dia memutar knop, lalu mendorong pintu putih tersebut perlahan. Kedatangannya membuat Rey dan Meilda terkejut. Vatra tersenyum tipis melihat mereka berdua.
"Maaf kalau kedatangan gue ganggu kalian," ucap Vatra canggung. Meilda berdiri, ada senyum tipis menghias bibirnya.
"Nggak kok. Rey juga udah sadar. Makasih udah mau mampir," balas Meilda. Vatra mengangguk sembari menyodorkan parsel itu pada Meilda.
Rey menatap Vatra tanpa ekspresi. Lalu, Rey menggamit tangan Meilda. "Boleh aku bicara sama dia?" izin Rey.
Meilda mengerutkan kening. Jantungnya berdetak kencang karena ada rasa khawatir menghampiri. "Rey."
"5 minutes, please?"
Meilda menyerah. Dia memilih diam dan memutuskan menunggu di luar. Membiarkan Vatra dan Rey di ruangan yang sama, sungguh itu bukan ide bagus. Tapi Meilda berharap jika Rey tidak berkata buruk.
Vatra masih diam di posisi semula. Sementara Rey menatapnya sinis.
"Jangan deketin Meilda lagi." Rey lebih dulu bersuara. Vatra melihat dengan jelas wajah Rey yang tidak menyukai kehadirannya.
"Gue berusaha, tapi susah."
Rey berdecih. "Dia milik gue, sampai kapanpun. Gue orang yang pertama kenal dia, sedangkan lo? Lo cuma orang baru, jadi lo nggak tau apa pun tentang Meilda." Pernyataan penuh kemenangan dan telak untuk Vatra lawan. Rey benar, dirinya hanya orang baru yang tidak tau apa pun tentang Meilda. Percuma melawan Rey, benarkah percuma?
Tapi kalau diperhatikan lagi, Rey ini tipe laki-laki keras, posesif. Sangat tidak cocok untuk Meilda. Yakinlah, pendapat Vatra tidak salah mengenai Rey.
Vatra menyunggingkan senyum sinis juga. Dia tidak merasa terintimidasi oleh ucapan Rey, meski fakta dari ucapan Rey memang benar.
"Lo emang lebih tau segalanya ketimbang gue. Tapi, lo nggak tau caranya membuat dia nyaman."
Rey mengeraskan rahang, merasa terpancing dengan ucapan itu. "Tau apa lo tentang gue? Lo liat, bahkan Meilda balik lagi sama gue. Dia itu cinta sama gue."
"Mungkin cuma cinta, tanpa rasa nyaman. Entahlah, gue nggak yakin itu. Tapi satu hal yang harus lo ingat. Buat dia bahagia, buat dia nyaman. Kalau gue liat lo nyakitin dia, gue ada di belakang untuk ngasih lo pelajaran."
Rey terkekeh seolah meremehkan ancaman Vatra barusan.
"Rasanya sia-sia gue bacot sama lo. Gue pergi, semoga otak lo nggak geser, ya!"
"Sialan!" Rey mendengus marah melihat Vatra pergi dari sana. Tangannya mengepal kuat. "Gue, nggak akan kalah dari cowok sialan kayak lo. Meilda cuma milik gue. Milik gue."
.
.
.
.
.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Kak, Jadian Yuk! (Selesai)
Ficção AdolescenteKatanya orang kalau udah cinta nggak mikirin gimana fisik, bahkan usia. Karena bagi mereka, cinta itu nggak perlu perbandingan dalam beberapa hal. Orang nggak akan pernah tau ke siapa mereka jatuh cinta. (Kata banyak orang) Kalau cinta ya dikejar. T...