Pengakuan Masa Lalu

102 11 2
                                    

Sejak satu jam lalu belum ada percakapan berarti di antara Vatra dan Meilda. Memutuskan untuk pulang, Vatra berakhir di rumah Meilda untuk menemani gadis itu. Rentetan pertanyaan membuat Vatra gemas ingin bertanya, tapi dia takut membuat suasana hati Meilda semakin rusak.

Sementara itu, Meilda sedang berperang dengan hatinya. Haruskah dia membuat pengakuan pada Vatra? Karena, yang dia butuhkan adalah kelegaan hati dan Vatra yang mau melindungi dirinya.

"Vatra." Akhirnya setelah puas saling membungkam bibir tanpa kata, Meilda membuka suara. Dia menghadap Vatra agar leluasa berbicara. Kali ini, dia lebih dari yakin untuk menjauh dari Rey.

"Kenapa?" Nada lembut itu cukup menenangkan Meilda yang sempat gugup.

"Gue bakalan ceritain semua yang mau lo tau," ucap Meilda serius. Vatra mengangguk. Dia akan menjadi pendengar yang baik sekarang. "Janji sama gue kalau lo nggak akan menjauh setelah ini," pintanya.

"Janjiku masih berlalu sejak kamu minta aku untuk nggak berhenti," jawab Vatra. Meilda menundukkan kepala. Dia mencoba mengingat apa saja masa lalunya hingga kejadian adu mulut dengan Rey tadi.

"Gue berasal dari keluarga yang rusak. Saat gue masih SD, kami hidup tenang. Papa sosok ayah yang bertanggung jawab, sayang sama keluarga." Ada senyum penuh rindu di bibirnya. "Gue kangen sama papa." Meilda tidak mampu menahan air matanya. Dia terisak. Vatra menggenggam tangan Meilda.

"Sampai akhirnya kebersamaan kami hancur. Saat itu gue masih SMP. Mama nyatanya selingkuh. Gue selalu liat mama pergi sama laki-laki lain, bahkan gue pernah mergokin mereka berduaan di rumah ini, tepatnya di kamar." Meilda menghapus kasar aliran air matanya itu.

"Gue sakit hati. Di saat papa kerja keras untuk kami, tapi mama memilih selingkuh. Gue marah saat itu, sampai papa tiba-tiba pulang dan melihat pertengkaran kami.

"Sakit, Tra. Gue ngeliat papa syok berat melihat kelakuan mama. Dan gue bawa papa ke rumah sakit untuk mendapat penanganan medis. Gue nggak bisa mikir apa-apa lagi. Gue cuma bisa nangis, tanpa siapa pun yang bisa gue harapkan. Papa berjuang di sana sendiri, tanpa kehadiran mama yang kasih support."

Vatra mengelus bahu Meilda. Vatra tau gadis ini sebenarnya tidak kuat bicara lagi.

"Di malam itu, gue harus kehilangan papa untuk selamanya. Papa kena serangan jantung dan kata dokter, beliau udah lama nggak check up lagi."

"Kak-"

Meilda menggeleng lemah. "Dunia gue serasa hampa, Tra. Gue nggak pernah tau kalau papa mengidap penyakit jantung. Beliau nggak pernah cerita apa pun ke gue. Di ranjang itu, gue liat papa udah nggak bergerak. Wajahnya damai saat itu. Untuk yang terakhir kalinya, gue cium pipi papa berulang kali. G-gue ... nggak kuat."

"Kak, berenti. Udah," pinta Vatra yang menyerah. Meilda menangis hebat di depannya, itu membuat Vatra tidak tahan lagi.

Meilda belum mau berhenti. Dia menggigit bibirnya, berusaha menahan getaran yang membuatnya lemah.

"Gue depresi setelah kepergian papa. Sampai Rey datang, teman dekat gue yang nawarin diri untuk nemenin gue."

Hati Vatra agak tersengat. Dia tidak suka bagian ini di mana Meilda menceritakan kedekatannya dengan Rey. Tapi, percuma.

"Dia selalu ada untuk gue. Gue kira depresi itu akan berangsur pulih, tapi nyatanya enggak. Beberapa minggu kemudian, mama berubah. Dia selalu pulang tengah malam dalam keadaan mabuk. Dan dia akan banting barang di dekatnya sampai habis. Gue takut. Mama beda dari biasanya. Yang gue bisa lakuin adalah mengurung diri di kamar dan minum obat penenang."

Vatra menelan salivanya. Astaga! Obat penenang akan menjadi obat candu jika diminum terus-menerus.

"Obat penenang?"

"Rey marah sama gue. Dia buang obat itu, tapi selalu ada cara untuk gue dapetin yang baru."

"Terus ... mama kamu?"

"Mama dinyatain sakit."

Sakit jiwa, maksudnya? batin Vatra.

Meilda tersenyum miris. Dia menatap Vatra yang benar-benar terkejut mendengar ceritanya barusan.

"Aku rusak, Tra. Itu sebabnya aku minta kamu menjauh saat itu. Aku pikir kedatangan Rey lagi akan buat aku lupain kamu."

Vatra menatap Meilda dalam diam. Setiap rentetan kata dari bibir Meilda, dia dengarkan dan cerna. Vatra merasakan kalau Meilda hanya butuh sandaran yang bisa dia percaya. Ditambah lagi masalah keluarga yang berat dan mengakibatkan kepergian papanya Meilda dalam waktu yang sama. Vatra bahkan tidak pernah membayangkan kesendirian Meilda selama ini.

"Apa kamu memilih tinggalin aku, Tra? Setelah semua masa lalu yang terjadi dalam hidupku, aku merasa takut kamu menyerah."

Hopeless sekali ucapan Meilda. Vatra menjambak rambutnya. Kepalanya mendadak berdenyut.

Meilda memandang Vatra dengan khawatir. Cowok itu terlihat berpikir keras. Meilda takut sekarang mendengar tanggapan Vatra.

"Setelah aku dengar semuanya, nggak semudah itu aku jauhin kamu. Aku nggak peduli sekalipun masa lalu kamu buruk. Yang aku mau sekarang, kamu percaya sama aku. Aku tau, Kak, ini terlalu awal untuk bicara cinta di usia semuda ini. Tapi aku bisa apa? Aku nggak bisa kontrol hatiku sendiri." Frustrasi sekali rasanya ketika Vatra bicara.

"Vatra, mungkin aku egois memaksa kamu untuk jangan berhenti. Tapi aku butuh kamu. Aku nggak punya siapa-siapa lagi sekarang. Rey selalu ngancam aku. Aku nggak tau harus apa."

Vatra menangkup wajah Meilda. Ditepisnya air mata itu dengan lembut. Wajah Meilda terlihat lelah.

"Aku udah janji untuk nggak ninggalin kamu, kan? Maka, aku akan tepati janji itu. Aku mau buat kamu bahagia dengan caraku, asal kamu selalu percaya sama aku. Hm?"

Tidak ada kata lagi selain gerakan refleks memeluk Vatra. Meilda menenggelamkan wajahnya di pundak Vatra. Pelukan keempat mereka. Pelukan yang akan selalu Meilda inginkan.

"Aku janji," gumam Meilda di antara tangisnya. Terima kasih. Senyuman hangat mengembang di bibir Vatra. Dia berjanji untuk selalu membuat Meilda bahagia. Dengan caranya sendiri.

.
.
.
.
Tbc.

Susah ya buat adegan sedih. Duh!

DenyutWaktu

Kak, Jadian Yuk! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang