Rania meneteskan air mata. Bukan hanya dia, tapi juga Meilda. Keduanya terisak sembari membalas genggaman tangan yang erat. Rania telah bercerita panjang lebar. Dia tidak mau jika kesalahpahaman serta ego terus mendominasi. Sudah lama hubungan pertemanan mereka renggang. Rania pun paham kalau perasaan seseorang tidak akan pernah bisa dipaksa. Untuk itu, Rania berbesar hati menepis rasa sukanya pada Vatra dan membiarkan Vatra bersama Meilda.
"Terus bahagia, Meilda. Aku berharap kamu tetap bahagia apa pun keadaannya."
Meilda sesenggukan. Rania mengulas senyum hangatnya. Senyuman yang kembali Meilda lihat setelah lama menghilang.
"Maaf kalau gue buat lo kecewa, Ran. Semua ini di luar kendali gue. Gue nggak bermaksud nusuk lo dari belakang. Gue-"
"Nggak, Meilda. Aku aja yang bodoh karena nggak jujur sejak awal. Aku juga nggak bisa maksain Vatra."
"Kenapa lo baik banget, Ran? Kenapa lo masih mau berteman sama gue yang jahat ini?"
Rania mengusap lengan Meilda dengan lembut. Pancaran sayang terlihat jelas di kedua mata Rania. Baginya sahabat adalah hal utama ketimbang memikirkan cinta. Meski terkadang cinta mampu membuat manusia egois. Tapi, jika cinta menjadi alasan keretakan jalinan persahabatan sejak lama, apa pantas diperjuangkan? Setidaknya ada yang mengalah. Mengalah bukan berarti kalah. Namun memberi kesempatan pada siapa cinta itu berlabuh.
"Nggak ada yang jahat, Meilda. Aku senang bisa kenal kamu sejak SMA. Bagiku, kamu itu sosok gadis tangguh, tentunya luar biasa. Kamu kuat banget jalanin keadaan kamu dengan baik. Mama selalu bilang, kalau orang baik pasti akan dipertemukan dengan yang baik juga. Aku bersyukur akhirnya kamu bisa mendapatkan kebahagiaan itu, Meilda. Melalui Vatra, dia cowok hebat," puji Rania jujur.
"Ran, kamu yang terbaik. Makasih banyak." Tanpa ada keraguan, Meilda memeluk Rania sembari mengucapkan terima kasih berulang kali. Akhirnya, semua jelas. Tidak ada lagi kecanggungan, kemarahan yang berarti. Meilda harap persahabatannya dengan Rania tetap terjalin hingga tidak ada lagi dirinya di dunia.
"Dah, ah. Kamu nangis terus. Nanti aku diomelin Vatra liat pacarnya nangis gini," seloroh Rania sambil menepuk pelan pipi Meilda.
Meilda mendesis. "Kami nggak pacaran!" elaknya.
"Loh? Wah, nggak bener nih, Vatra. Masa sahabatku yang galak ini digantungin, sih?"
"Hei!" Meilda mendelik ketika dia dibilang galak. Namun Rania malah tertawa geli. Ah, dia rindu sifat Meilda yang ketus. Mungkin saja intensitas keketusan Meilda sudah menyusut karena Vatra. Syukurlah.
"Yuk, masuk. Kamu ulang tahun hari ini. Kadonya nyusul di rumah," cengir Rania polos.
"Dasar!"
***
Langit terlalu menarik untuk dilewati dengan kedua mata milik Meilda. Sejak tadi dia mengabaikan Vatra yang memasang wajah kesal karena tidak diajak bicara. Mereka sedang berada di alun-alun. Ramai orang di sini. Sengaja Vatra memilih tempat ramai, karena kalau sepi kadang banyak setan berkeliaran berbisik yang mengundang kekhilafan.
"Aku lebih indah loh, Kak."
Meilda menoleh, lalu terkekeh. "Makasih."
"Sama-sama. Aku senang liat kamu bisa baikan lagi sama Rania."
"Kenapa kamu harus ngelakuin hal serumit ini buat aku, Tra? Kamu buang banyak waktu buat aku. Kenapa?" Keduanya saling menatap. Meilda menanti jawaban, sedangkan Vatra tampak tenang untuk mulai bicara.
"Karena aku sayang."
Meilda menggeleng tidak yakin. "Sayang aja nggak akan buat kamu begini."
Desakan Meilda untuk membuat Vatra bicara menerbitkan kilas senyum penuh kehangatan dari Vatra. Tangannya merapikan helaian rambut Meilda yang tertiup angin. Pandangan penuh sayangnya tidak lepas dari wajah cantik yang mengerut penasaran itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kak, Jadian Yuk! (Selesai)
Roman pour AdolescentsKatanya orang kalau udah cinta nggak mikirin gimana fisik, bahkan usia. Karena bagi mereka, cinta itu nggak perlu perbandingan dalam beberapa hal. Orang nggak akan pernah tau ke siapa mereka jatuh cinta. (Kata banyak orang) Kalau cinta ya dikejar. T...