"Karna luka tercipta dari seseorang yang kita anggap istimewa."
_______________
Bruk!
Semua menoleh, menatap ke arah sumber suara. Dengan sekuat tenaga Nara bangkit. Menaikki tangga dengan cepat, tidak menghiraukan tatapan heran dari orang-orang.
Brak!
Nara menutup pintu dengan kasar. Kaki Nara tak sanggup lagi berdiri, ia terduduk dilantai. Nara memukul dadanya yang sesak, air mata mengalir deras dipipinya.
Apa salah Nara? Hingga Tuhan menghukumnya dengan cara seperti ini.
Hatinya sangat sakit melihat Angga menyematkan cincin di jari manis Salsa. Hatinya terasa hancur saat Angga mengecup lembut tangan Salsa di depan mata kepalanya sendiri.
Mana Angga yang dulu? Angga yang memeluknya dengan hangat. Angga yang menjadi tempatnya berbagi suka dan duka. Angga yang selalu mengeluarkan gombalan receh hanya untuk membuatnya tersenyum.
Apa Angga sudah mati?
Apa selama ini Nara hanya sebagai permainan? Apa Nara hanya sebagai tempat pelampiasan? Kalaupun benar, Nara ikhlas menerimanya. Tapi kenapa harus Salsa? Kenapa harus kakak tirinya?
Orang yang udah rebut kebahagiaannya sejak kecil. Orang yang udah rebut kasih sayang Reno darinya. Bahkan orang yang membuat seorang ayah membenci anak kandungnya sendiri.
Apa Salsa belum puas? Hingga ia juga merebut kebahagiaan Nara satu-satunya.
Nara memeluk kedua lututnya, membenamkan kepalanya disana. Mencoba meredam suara tangis yang terdengar menyayat hati.
Jadi ini alasan bang Arkan menyuruhnya menjauhi Angga?
Jujur Nara masih tak bisa melepaskan Angga, ia sangat mencintai cowok itu. Dulu Nara pikir Angga adalah cinta pertama dan terakhirnya, tapi sekarang?
Nara bangkit, lalu mengambil sebuah bingkai foto dengan bergetar. Tangannya mengusap foto yang menampilkan seorang wanita paruh baya yang tengah tersenyum lebar.
Nara tersenyum getir menatap senyuman itu, "Bunda..."
Nara mengigit bibirnya saat dadanya kembali sesak. Ia mendongakkan kepalanya menahan air mata yang terus mengalir dimatanya.
"Kata bunda Nara gak sendirian disini. Banyak yang sayang sama Nara. Tapi nyatanya Nara sendirian disini, hiks. Ke..napa bunda tega bohongin Naraa..?"
Ceklek!
Nara segera menyembunyikan foto itu di bawah bantal, ia menghapus air matanya kasar. Nara tidak boleh terlihat lemah dihadapan orang-orang. Nara harus kuat!
Nara menoleh, lalu tersenyum manis, "Ada apa bi?"
Bi Yani menghela nafas, lalu duduk disebelah Nara, "Non Nara kenapa?"
"Kenapa? Aku baik-baik aja kok bi." Nara tertawa ringan. Entah kenapa dada Nara kembali sesak.
Bi Yani mengenggam tangan Nara lembut, "Bibi tau non Nara wanita yang kuat. Bibi tau kebiasaan Nara sejak kecil, Nara selalu menutupi luka dengan senyuman. Bila non Nara udah gak kuat, non bisa ceritain sama bibi.."
Nara tersenyum tipis, ia menatap tangan keriput yang menggenggam tangannya, "Makasih ya bi. Aku gak papa kok."
"Yaudah non. Bibi keluar dulu."
Nara mengangguk, ia menatap punggung rapuh itu yang perlahan menjauh. Runtuh sudah pertahanannya. Nara sungguh tidak kuat menahan sesak didadanya.
"Bi.."
Bi Yani menoleh saat suara lirih memanggilnya, ia terkejut dan langsung mendekat saat melihat anak majikannya itu sudah berlinang air mata.
"Non kenapa?"
"A..aku boleh gak peluk bibi? Aku kangen pelukan bunda.."
Bi Yani mengangguk, dan Nara langsung memeluknya erat. Hatinya terasa teriris melihat keadaan Nara. Gadis ini begitu rapuh, tapi tak ada seorang pun yang ingin mendengar keluh kesahnya.
"Bi.."
Bi Yani mengusap air matanya, "Iya non?"
"Kapan sih ayah sayang sama aku? Aku emang anak pembawa sial ya bi? Hingga aku gak pernah rasain bahagia.."
"Non Nara gak boleh bicara seperti itu. Siapa bilang non anak pembawa sial? Nara itu wanita yang kuat, wanita yang hebat. Sekarang non doain aja, semoga ayah non cepat sadar bahwa apa yang dia lakuin sekarang ini adalah salah.."
Nara mengangguk, lalu mengeratkan pelukannya. Nara menangis dalam diam, mencoba mengeluarkan segala beban yang selama ini ia pikul.
Nara memejamkan matanya, menikmati pelukkan hangat yang selama ini tidak pernah ia rasakan. Ia merasa bebannya perlahan menguap dan dadanya pun terasa lega sekarang.
Dengan setia bi Yani mengelus lembut punggung gadis dipelukkannya, "Sekarang non Nara tidur ya. Udah malam, besok kan sekolah."
Nara melepaskan pelukkannya, "Iya bi. Makasih ya bi waktunya. Bibi udah Nara anggap seperti ibu Nara sendiri."
Bi Yani tersenyum lalu mengelus kepala Nara lembut, "Sekarang kamu tidur."
Bi Yani keluar dan menutup pintu kamar rapat. Nara tersenyum, hatinya terasa menghangat. Ia merebahkan dirinya dikasur, tak lama ia pun sudah terlelap dalam tidur.
Tanpa disadari Nara, seseorang menyaksikan semua kejadian tadi dari awal sampai akhir dibalik gorden balkon.
"Gadis yang malang.."
_______________
Mewek-mewek berjamaah😭
Bener gak sih?😥
Mon maaf bila feel nya kurang dapet huhu:(
#hatersangga
#haterssalsa
KAMU SEDANG MEMBACA
GANARA
Teen Fiction"Sekencang apapun lo berlari dan sejauh apapun lo bersembunyi, lo gak akan bisa hindarin gue.." "You're Mine..Anara." ⬇ ⬇ ⬇ Mengandung adegan kekerasan dan bahasa kasar. Mohon bijak dalam membaca!