Chapter. 11

14.7K 2.3K 198
                                    

Ch. 11

°

Teriakan putra kedua mereka menghentikan kegiatan yang sudah terasa menyenangkan itu. Umay, si pelaku berteriak begitu dia menemukan kedua orangtuanya yang sedang asyik bertautan bibir di halaman belakang.

"Kenapa lari-lari sambil teriak begitu, Nak?" tanya Hayana yang menghampiri suara cucunya berasal.

Dave dan Karyna sudah lebih dulu saling mendorong sebelum seluruh anggota keluarga melihat.

"Papi mami gigitan, Omaaa!" adu anak itu yang sukses membuat pipi kedua orangtuanya memerah dan menahan malu.

Hayana memicing, dia tatap kedua pelaku yang suka sekali ketahuan sedang bermesraan oleh Umay.

"Kalian ini... kebiasaan!" Hayana menuntaskan masalah itu dengan membawa Umay kembali ke meja makan. Namun, langkah wanita baya itu terhenti karena melihat seseorang berjalan menuju halaman belakang dengan santainya.

Langsung saja Hayana membalikkan tubuh dan menghunus tatap curiga kepada Dave dan Karyna.

"Kalian sengaja bawa orang ini ke sini!?"

Karyna menggeleng pelan, sedangkan Dave langsung menjawab. "Dia datang sendiri ke sini. Nggak ada yang tahu kenapa—papa, ke sini. Aku dan Karyna nggak sengaja dengan membuat pertemuan ini."

Karyna maju. "Kita bicarakan ini tanpa Umay yang menjadi pendengar pasif. Dia nggak akan paham masalah ini, Ma. Aku bawa Umay ke ruang makan sama kakaknya dulu. Kalian bisa bicara di ruang tamu."

Seperti biasa, Karyna akan lebih mengutamakan anaknya. Apa yang didengar oleh Umay, apa yang dilihatnya, itu semua tanggung jawabnya sebagai orangtua. Jika Dave tak bisa, maka Karyna yang akan maju sebagai guru bagi anak-anaknya guna menjelaskan apa yang terjadi.

Meninggalkan ketiganya, Karyna menemani Umay yang tadinya kebingungan mendongak menatapi orang dewasa di sekitarnya itu.

"Mi, kok ada olang asing di lumah?"

Karyna membawa putra keduanya itu tidak ke ruang makan. Melainkan menuju kamar Umay sendiri. Didudukkannya sang putra dan Karyna di hadapannya.

"Mami mau jelasin ke kamu." Mulai Karyna.

"Apa?" sahut Umay si anak kecil dengan pikiran tuanya.

"Tadi kamu lihat mami sama papi ngapain?" tanya Karyna mula-mula.

"Gigitan," jawab anak itu. "Bibilnya gigit-gigit. Mami papi lakus gigitnya."

Karyna merasa beruntung, karena putranya terhitung begitu dewasa. Dia selalu bisa diajak bicara ketika waktunya serius.

"Itu namanya ciuman, Umay."

"Ciuman?" Umay mengerutkan dahi karena tak paham. "Ciuman tu apa, Mi?"

"Ciuman itu bentuk dari rasa cinta dan sayang. Mami cinta sama papi, makanya mami sama papi ciuman. Orang dewasa akan lakuin itu kalo dia cinta sama orang."

"Tapi mami kalo cium aku nggak gitu, papi uga nggak pake gigitan."

Tak mau menyerah, Karyna kembali menjelaskan.

"Bukan cium yang itu. Nanti waktu kamu besar, kamu akan cinta sama orang—perempuan, kamu bakalan ciuman sama perempuan itu dengan cara seperti yang mami dan papi lakuin."

"Aku ciuman sama mami papi pake gigit boyeh?"

Karyna dengan tegas menggeleng. "Nggak. Hanya boleh ciuman sama perempuan yang kamu cinta, tapi nanti kalo kamu sudah besar seperti mami dan papi. Paham?"

Tak langsung mengiyakan, Umay menaruh telunjuknya di pelipis. "Peyempuannya satu dua tiga boyeh, Mi?"

Karyna memejamkan mata sejenak. Bibit playboy-nya udah kelihatan. "Nggak boleh."

"Kenapa?"

"Karena papi nggak cium perempuan lain selain mami, mami juga nggak cium cowok lain selain papi. Harus satu." Karyna memandangi anaknya. "Sekarang paham?"

"Hemm."

"Hemm, apa? Paham nggak sama yang mami jelasin?"

"Paham." Dengan gelagat tak acuh Umay menjawabnya.

"Sekarang mami mau jelasin orang yang kamu bilang orang asing tadi."

Umay mendengarkan maminya dengan serius.

"Orang tadi itu kakek kamu. Itu papanya papi."

"Papa papi???" Umay kebingungan.

"Iya. Kayak kamu, kalo nanti gede kamu punya anak terus dipanggil papi. Nah, papi Umay sekarang itu kakeknya anak Umay nanti. Ngerti?"

Kembali anak itu menaruh telunjuknya di pelipis. "Kakek aku yang nggak bica ngomong, Mi."

Keras kepala. Umay adalah anak yang keras kepalanya sudah terlihat jelas. Bagaimana tidak, dijelaskan mengenai Dirgahayu saja dia masih kokoh berpendapat bahwa Dirgahayu adalah 'orang mati'.

"Itu kakeknya Umay dari mami. Itu papanya mami. Kalo yang tadi papanya papi. Kayak nenek, Oma itu sama kayak neneknya Umay."

"Ah, pucing, Mi." Keluh anak itu.

"Yaudah, intinya kamu panggil dia kakek—"

"Nggak mau! Itu punya kakek, nggak boyeh buat panggil olang asing."

Menghela napasnya pelan, Karyna memutar otak. "Oke. Panggil Opa. Gimana?"

"Oceee! Aku telima."

Dasar anak tukang bikin kesepakatan! Cibir Karyna dalam hati.

"Sekarang kita keluar. Makan bareng-bareng, nanti jangan ngomong kalo ada orang gede ngomong. Itu nggak sopan, ya."

"Huh? Kalo ngomong cama mami, papi, kak Oda, Om Yon?"

Memutar bola matanya, Karyna mau tak mau mengiyakan supaya Umay tidak membantainya terus dengan pertanyaan yang sama.

Kini waktunya menghadapi sesi perdamaian ditengah perang dingin mertuanya.

He Wants Me Extra ( II ) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang