KEPADA KARYA TERBESARKU

4 1 0
                                    

Membaca puisiku yang diam-diam kukagumi. Aku resapi tiap tarikan pertikaian, pemalsuan, cinta. Ketika majasnya adalah nyata, seluruh gerbong kuras air mata, dan sebuah lakuna mampir di cerobong tua.

Tak mengapa aku berjalan sendirian
Benua hitam lebih menggoda daripada tarian di perapian
Kebisingan jam dinding mendulang rasa daripada cicit kegaduhan
Tak mengapa tahun-tahun hidupku sekadar tulisan
Ruang pengap dengan sajakku melumat lara, sedangkan
kumpulan perempuan riang adalah puing-puing bencana
Puisiku menggelandang. Miskin. Terlupa.
Tak mengapa uluran tanganku diabaikan
Bak cuci piring, pakaian kotor, mencerai resah gemetaran
Lalu, malu-malu sebaris tamu bernama kebohongan mengajak berkawan

Membaca puisiku adalah pemberontakan diri atas serapah manusia. Penyebab kepulan raga tak merdeka.
Prasasti para penimbun klausa yang gemar komat-kamit saja. Ditambah identitas gadis pena, saat sekilas kau butakan ia tipu daya, maka tulusmu tak terbaca seabad jiwa.


16 April 2018

U N D E R   T H E   M O O NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang