Tidak berani melihati Shaka yang duduk tepat di hadapannya, Kiya memilih menunduk, menatap seporsi sushi-nya yang belum habis. "Aku pikir, hubungan kita cukup sampai di sini aja, kak." Mendadak, mata Kiya memanas. "Susah mertahanin hubungan ini di saat banyak orang yang gak nerima, kredibilitas kakak yang dibawa sama mereka, Nabil sama Menteng jadi ikut kebawa getahnya direndahin, aku—"
"Aku nggak nyangka kamu punya pikiran sekonyol itu, dek," potong Shaka, lalu tertawa, entah apa yang harus ditertawakan dan jenis tawa apa yang dikeluarkan olehnya. "Di sini, tujuan kita buat bicara, tapi bukan buat selesain hubungan kita."
Perkataan sarat dingin Shaka, membuat Kiya gusar di kursinya. "Kita di sini memang untuk bicara dan ini yang mau aku omongin ke kakak." Perlahan, gadis itu memberanikan diri melihat Shaka yang tengah menatapnya datar dengan rahangnya yang mengeras, menahan ledakan marah. Sakit, rasanya sakit. "Aku udah pikirin."
"Pikirin, apa?" dengus Shaka, bertanya balik. Senyum miring, tersemat pada wajah laki-laki itu. "Kamu, nggak memikirkan apapun. Kamu cuma ngambilin jalan pintas. Lantas dengan putus, semuanya bakalan balik lagi kayak semula gitu, dek?"
Bahkan, Kiya tidak tahu kapan ia sudah menangis karena pipinya basah. Dia buru-buru mengusap wajahnya meski sebenarnya sia-sia karena Shaka pasti melihat itu semua. "Meski semuanya gak akan balik lagi kayak semula, aku udah pikirin ini mateng-mateng, kak. Kredibilitas kakak sebagai dosen, gak akan diraguin. Menteng juga nggak akan di-cap aneh-aneh sama mereka kalau kita putus. Karena saat putus, aku sama kayak mereka yang notabene-nya mahasiswa kakak, kan? Itu udah adil."
Penjelasan Kiya yang sebenarnya bisa Shaka cerna, bisa dipahami tapi tidak bisa untuk dia terima itu membuatnya tertawa dan mengalihkan wajah dari pacarnya karena, Ya Tuhan. Gadisnya tengah menangis, tapi rasanya berat untuk menghapusi air matanya. Perkataan Kiya yang semakin kesini makin melukainya. "Kamu jahat."
Sebelum Kiya bertanya apa maksudnya, Shaka sudah lebih dulu bicara. "Ah biar mereka nggak ngomong yang nggak-nggak, aku juga harus anggap, Nabil udah bukan jadi adik aku lagi, gitu?" Arshaka mengusap wajahnya lalu menatap gadis di hadapannya dengan sorot, terluka. "Dek, setelah apa yang udah kita lewatin, tega?"
Setelah apa yang kita lewatin, tega? Air mata sialan, karena kini Kiya malah merasa jika pipinya basah lagi. "Maaf, aku harus jadi setega itu dan nyakitin kakak." Kali ini, dia tidak peduli mukanya akan jadi seberantakan apa. "Aku nggak sanggup liat kakak sebagai dosen diraguin dan di cap jelek, secara gak langsung aku malahan buat karier kakak jelek. Lihat sahabat aku dituduh yang nggak-nggak, aku gak—"
"Cukup kakak nggak mau denger kamu ngomong lagi." Kiya terhenyak saat melihat di hadapannya Shaka berdiri. "Kalau yang kamu omongin seputar gigihnya kamu yang mau kita putus alih-alih mertahanin hubungan kita, aku gak mau denger. Aku nggak mau nerima penjelasan apapun lagi. Lalu perihal omongan putus kamu... maaf kakak egois. Kakak nggak akan pernah menganggap itu. Kakak hari ini walau sakit mikirnya kamu lagi ngelindur. Kamu cuman asal ngomong aja sekarang, dek."
Seusai mengatakan itu, Shaka memundurkan kursinya lalu berjalan menuju pintu ruangan privat. Mata Kiya membelalak melihat Shaka yang benar-benar akan mau pergi disaat perbincangan mereka sama sekali belum selesai. "Kakak tunggu!"
Kiya buru-buru menyusul Shaka, beruntung dirinya tidak membawa apapun sedangkan Shaka sendiri hanya membawa ponselnya yang dia taruh di saku kemeja yang dikenakannya. Makanannya memang sudah dibayar hanya saja, mereka belum selesai bicara. "Kakak, tunggu! Jangan dulu pergi!" Teriak Kiya sambil agak berlari di koridor ruangan privat yang untungnya sepi. "Kak Shaka, stop. Dengerin aku!"
Shaka sengaja berjalan cepat dengan langkah lebar, mengabaikan panggilan Kiya yang dia tahu, mengikutinya di belakangnya. Ya Tuhan, sebenarnya ini sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Keep This Secret? [KDY-END]
General FictionNotes : Ceritanya beneran udah tamat, lagi direvisi aja Arshaka Dirgantara Arundani. Seantereo mahasiswa di jurusan Psikologi tahu kalau ditanya soal bapak yang satu ini, bakalan auto tegang. Tegang di sini itu karena langsung keinget auto sadis dan...