2.7

208 17 2
                                    

Suara denting jarum jam di dinding terasa seperti menguasai suasana senyap yang sudah berlangsung sejak tadi. Park Sona memijat pangkal hidungnya pelan, seolah buntu dan tidak mengerti harus mengambil tindakan seperti apa lagi. Dirinya sudah bosan mendengar isakan pilu dari sang kakak yang hanya menggelung diri di dalam selimut. Orang tua mereka sedang berada di jepang, maka kesempatan itulah yang digunakan oleh Soora untuk menumpahkan isi hatinya.

"Aku tidak tau harus bagaimana lagi. Kakak sudah terlalu gegabah." keluh Sona setelah merasa tidak tahan karena punggungnya yang terasa ngilu akibat duduk terlalu lama di kursi meja rias milik kakaknya.

Mereka berdua tengah berada di kamar Soora. Kamar yang sudah lama tidak dihuni oleh siapapun semenjak kepergian kakaknya. Terdengar tarikan napas yang dipaksakan, Soora menyibak selimutnya pelan dan terpampanglah wajah sembab dan mata bengkak disana.

"Lihatlah, kau bukan seperti kakakku." cicit Sona lagi.

Soora dengan amat terpaksa menarik kedua sudut bibirnya. Setidaknya ia masih memiliki sang adik yang akan selalu mendengar keluh kesahnya dan mendukungnya dalam hal apapun. Tapi untuk kali ini, sepertinya Soora hanya akan pasrah.

"Jika tidak mau membantuku, tidak apa. Yang penting jangan beri tau ayah dan ibu." kata Soora dengan suara seraknya.

Sona menatap iba kepada sang kakak yang terlihat menyedihkan. Namun apa boleh buat, kali ini tindakan kakaknya benar-benar sudah diluar nalar.

"Mau sampai kapan kau berkorban untuk orang yang tidak menghargaimu kak?" tanya Sona pelan.

Kedua mata Soora yang terlihat sayu dan kosong mengedar, menemukan sebingkai foto yang diambil sudah lama sekali, ketika dirinya masih berada di sekolah menengah pertama. "Sampai mereka sadar, bahwa selama ini mereka hanya saling menyakiti. Oh tidak-ku rasa sampai Dia paham."

Sona tidak bergeming. Pandangannya turut mengarah pada foto angkatan wisuda sekolah menengah pertama milik kakaknya yang memperlihatkan Soora; duduk bersebelahan dengan Wonwoo. Keduanya tampak tersenyum manis dengan tangan yang saling bertautan. Tanpa Sona ketahui, ada sosok lain yang duduk di barisan paling belakang. Seorang siswa laki-laki dengan wajahnya yang tertunduk, enggan menatap kamera seperti siswa-siswi lainnya yang tersenyum penuh kebahagiaan pada hari kelulusan.

***

Wonwoo tampak sedang sibuk mengamati setiap detail data yang dibacanya. Jari telunjuknya sesekali mengetuk-ngetuk dagunya pelan atau kemudian beralih mengetuk permukaan meja. Sejak kepulangannya kemarin setelah mengantar Serim pulang, Wonwoo tidak tahan untuk menahan senyumannya. Selama perjalanan pulang menuju ke apartemen, dirinya tidak berhenti berdecak atau bahkan tertawa sendiri karena saking merasa gemas dengan gadis yang ditemuinya kemarin.

"Maaf sudah mengecewakanmu, Serim. Semua diluar dugaanku. Kali ini aku benar-benar tidak ingin melepaskanmu lagi." kata Wonwoo dengan guratan penuh harap yang tercetak jelas di kedua mata legamnya.

Serim yang semula hampir meluapkan emosinya justru kembali teredam setelah mendengar apa yang Jeon Wonwoo katakan, "Mau kau kemanakan Park Soora? Bukankah kalian akan segera menikah? Tenang saja, aku akan mendoakan kalian agar hidup berbahagia."

Wonwoo menggeleng dalam diamnya. Dirinya hanya perlu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan kembali meyakinkan gadisnya. "Soora sudah membatalkan pernikahan kami. Tetapi,"

"Tapi kenapa?" tanya Serim dengan wajahnya yang sudah memerah. Awalnya dia merasa malu, namun kini dirinya seolah sedang dipermainkan oleh seseorang yang saat itu sedang bersamanya.

Wonwoo memejamkan matanya sebentar, kecemasan dalam dirinya seakan semakin terdesak. Takut-takut jika Serim akan kembali terluka setelah mendengar penjelasannya. "Kami merencanakan seolah agar pernikahan tetap berlangsung. Semua ini akan menjadi rekayasa, Serim. Aku tidak akan menikah dengannya."

Apa yang Wonwoo takutkan benar terjadi. Seusai mengatakan kalimat tadi, kedua bola mata Serim yang menjadi candunya selama ini kemudian mulai berkilat. Dada gadis itu terasa sesak, air matanya sudah berdesakan memaksa untuk keluar. Wonwoo sudah keterlaluan, pikir gadis itu.

"Hentikan semua omong kosong ini. Berhenti mempermainkanku, kau tidak merindukanku. Kau-kau..."

Serim tidak mampu melanjutkan ucapannya tatkala Wonwoo menarik tubuhnya dengan cepat. Membawanya ke dalam pelukan pria itu. Tangis yang berusaha ia tahan tidak lagi mau berkompromi.

"Aku mohon dengarkan aku, beri aku kesempatan." ujar Wonwoo dengan suaranya yang tidak kalah bergetar. Kedua tangannya ia fungsikan untuk mendekap gadisnya yang masih berusaha menjauhi dirinya.

"Aku melakukan semua ini demi keluargaku. Ketahuilah Serim, aku benar-benar tidak bermaksud untuk mempermainkanmu. Ini semua diluar kendaliku, maaf."

Hentakan tangan Serim yang memukul-mukul dadanya perlahan mulai melemah. Gadis itu menahan isakannya, bersamaan dengan Wonwoo yang menangis dengan dagunya yang berada di atas kepala gadisnya. "Maafkan aku, kumohon." lirih Wonwoo lagi.

"Berikan aku satu kesempatan lagi, aku akan menunjukkan bahwa aku bersungguh-sungguh memilihmu."

Pertahanan yang Serim bangun seketika hancur ketika pria yang saat itu merengkuhnya tidak berhasil menahan setitik air matanya. Idaman yang tidak pernah ia duga akan keluar dari bibir seorang Jeon Wonwoo yang ia kenal. Hati Serim mencelos, seolah turut merasakan bagaimana besarnya harapan Wonwoo untuk bersamanya. Mau bagaimanapun, Wonwoo hanyalah seorang pria biasa yang pasti memiliki masalah dalam kehidupannya. Terdengar egois apabila Serim kembali mengacuhkannya dengan amarah yang membuncah karena kembalinya wanita yang pernah mengisi hati Wonwoo. Ia rasa, kali ini dirinya tidak perlu menjadi munafik untuk yang kesekian kali. Serim menginginkan Wonwoo, itu saja. Terlepas dari masalah dan kesulitan apa yang sedang Wonwoo hadapi, detik itu juga hatinya bertekad untuk kembali menemani Wonwoo menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja kembali memisahkan mereka lagi. Kecewa, sakit hati, sengaja ia singkirkan untuk melihat netra legam yang dulu selalu menjadi candunya itu kembali bercahaya.

Serim melonggarkan pelukan mereka, menyisakan jarak yang membuat Wonwoo kontan mendongakkan kepala. "Jika kau tetap pada keputusanmu, maka aku tidak akan memaksamu lagi unt—"

Hening.

Temaram lampu di pagar rumah Serim nyatanya tidak membantu sama sekali. Gadis itu dengan cepat menghentikan ucapan Wonwoo dengan mencium bibir pria itu cepat. Tidak berniat melepaskan walau waktu sudah beberapa menit berjalan. Hanya sekedar kecupan yang Serim berikan. Merasakan napas keduanya yang beradu, dengan kedua mata mereka yang kemudian terbuka perlahan.

Serim tersenyum dalam kecupannya. Membuat hati Wonwoo menghangat sehingga pria itu turut tersenyum  kemudian memejamkan matanya kembali dan melumat lembut bibir gadisnya.

Wonwoo merasa saat itu adalah saat dimana ia kembali mendapatkan kekuatannya. Serim telah kembali. Yang ia perlu lakukan saat ini hanyalah menjaga gadisnya agar tetap berada di sisinya. Apapun yang akan terjadi nanti, yang ia inginkan untuk saat ini dan seterusnya hanyalah Kim Serim.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEE《On Hold》Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang