2.4

147 19 3
                                    

Jika ada yang lebih menyakitkan dari sebuah perpisahan dengan rasa yang belum usai, maka luka-luka lama dari masa lalu yang sudah dikubur dengan susah payah kembali menyelinap dan memberikan efek luar biasa menyakitkan. Menambah perih dari ujung pedih yang dipaksakan untuk sembuh. Kenyataannya, tidak semudah apa yang sudah terjadi. Terlalu pelik, memuakkan.

Ada yang hilang—padahal sudah berjanji bahwa akan datang kembali dengan niat dan keseriusan untuk membayar segala penantian. Namun takdir tidak cukup baik hingga akhir dari kisah itu hanyalah rentetan kenangan usang yang kemudian menjadi beban bagi salah satu, atau bahkan keduanya. Bukankah takdir memiliki caranya sendiri dalam memainkan peran? Tetapi semua tetap saja terlihat tidak adil. Atas apa yang sudah dikorbankan, bukan hanya waktu namun juga kepercayaan yang diruntuhkan.

Ada kalanya suatu pembicaraan dibutuhkan untuk sebuah penyelesaian. Meski tak urung pada ujung penyesalan, selalu ada rasa tersisa yang berharap untuk kembali diperjuangkan. Namun lagi-lagi, garis permainan takdir cukup menyesakkan. Menyisakan sebuah usaha dengan akhir yang sia-sia. Meruntuhkan harapan itu secara diam-diam namun cukup menimbulkan nyeri teramat dalam pada ulu hati.

Andai semua luka ada obatnya, semua rasa hampa ada penawarnya. Mungkin tidak akan sesakit ini. Mungkin kepercayaan tidak akan selapuk saat terakhir kali mencoba kembali. Semua ada masanya, awal untuk memulai, dan akhir yang tidak pernah diinginkan namun semesta yang menetapkan.

Hari demi hari berlalu. Tidak ada lagi angan semu yang menuai akan sebuah rindu. Dia sudah pergi, sudah selesai. Bukan lagi saatnya untuk mengemis pada takdir agar semua kembali berjalan sesuai harap dalam sanubari. Tidak ada lagi Wonwoo dan Serim yang saling mengasihi. Mereka terbagi, menjadi beberapa kubangan luka yang tak terelakkan. Mencoba menerima fakta yang tidak pernah mereka inginkan.

Awalnya ia menggeleng kuat, berusaha menghalau niat kakaknya yang ingin menghajar Wonwoo—katanya. Namun hal itu berakhir dengan Minhyun yang tersenyum miris, mencoba memahami situasi dan melayangkan gurauan hingga kemudian membuat adiknya merasa sedikit lega. Dia paham, dan tidak semua perkara membutuhkan urat sebagai tindak penyelesaiannya.

Mereka sudah usai—yah kurang lebih begitulah yang berusaha Minhyun maklumi. Perjodohan ya, kisah klasik yang tidak asing. Minhyun sedikit demi sedikit paham akan apa yang telah dilalui oleh adiknya dengan seorang pemuda bernama Jeon Wonwoo. Perkataannya mengenai ia yang katanya sudah lama tidak memukul orang—itu hanya sekedar bualan, walaupun tidak sepenuhnya. Ya, siapa juga yang ingin melihat saudara kandungnya disakiti? Tidak ada. Lagi pula, sebagai anak sulung yang posisinya sama seperti Wonwoo, Minhyun pasti sudah memikirkan baik dan buruknya demi menuju sebuah masa depan. Tidak terkecuali adab untuk tetap patuh terhadap orang tua.

Kedua kakak beradik itu memutuskan untuk keluar rumah setelah Serim gagal melakukan eksperimen memasaknya—untuk yang kesekian kali.

"Syukurlah aku pulang lebih cepat. Kalau tidak, rumah kita pasti sudah hangus terbakar." ujar Minhyun kemudian berlalu dari dapur setelah turut membantu sisa kekacauan yang disebabkan adiknya.

Serim memajukan bibir, sedikit kesal dengan sindiran kakaknya yang memang merupakan fakta, ia tidak pandai mengolah dapur.

"Mau makan dimana?" tanya Minhyun setelah keduanya sudah berada di dalam mobil.

Serim yang baru saja memasang seat belt menengok ke arah kakaknya yang terlihat lelah, "Jangan terlalu jauh. Di sekitar sini saja."

Minhyun mengangguk, ia menyalakan mesin mobil kemudian menarik tuas hingga kendaraan yang mereka tumpangi meninggalkan pelataran rumah. Rumah itu jadi semakin sepi saja setelah anggota keluarga sibuk bekerja, dan pekan depan akan disusul oleh si bungsu yang juga sudah mulai bekerja di kantor yang sama dengan kakaknya. Tidak membutuhkan waktu lama, keduanya sampai di salah satu restoran yang letaknya tidak terlalu jauh dari perumahan mereka. Dua kakak beradik itu turun dari mobil, Minhyun berjalan lebih dulu sementara Serim mengekorinya.

SEE《On Hold》Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang