0.7

180 28 1
                                    

Serim mengerucutkan bibirnya sebal. Kakaknya— Minhyun, telat menjemputnya di stasiun kereta. Sehingga mengharuskan gadis itu untuk menunggu selama lebih dari satu jam tadi.

“Sudah dulu marahnya, sudah sampai rumah juga.”

Minhyun meletakkan sebuah kotak berisi kaktus hias pesanannya dan tas jinjing milik adiknya di depan kamar gadis itu.

“Ibu dimana?” tanya Serim akhirnya.

Minhyun tersenyum tampan mendengar adiknya sudah mau berbicara setelah selama perjalanan menuju rumah tadi hanya diam.

“Sedang di rumah bibi.”

Serim hanya menganggukkan kepala lalu mendudukkan dirinya di kursi dapur.

“Kau kenapa sih, aku perhatikan sejak tadi wajahmu lesu begitu. Ada masalah? Skripsimu?”

Minhyun membuka kulkas dan mengeluarkan satu kotak kemasan jus buah instan lalu menuangkannya ke dalam dua gelas.

“Tidak, skripsiku lancar. Sudah bisa lanjut.”

“Syukurlah kalau begitu. Ini minum dulu.”

Tangan Serim meraih segelas jus rasa jambu dari tangan kakaknya. Meneguk jusnya pelan, gadis itu berkata; “Kaktusnya ganti ya.”

Wajah gadis itu tetap datar, tetapi semakin membuat Minhyun tertawa gemas.

“Iya iya astaga adikku kenapa perhitungan sekali. Kau terlihat badmood sekali. Coba cerita pada kakakmu ini.” bujuk pria yang lebih dewasa itu.

Keadaan rumah sepi. Ayah masih berada di kantor dinas, dan ibu sedang berkunjung ke rumah bibi.

“Kakak bukan perempuan.” balas gadis itu datar.

“Tolong ingat kembali siapa dulu yang menangis tersedu-sedu setelah ditinggal siapa itu pemuda yang berlagak tampan.” sindir Minhyun akhirnya.

“Kakak apa-apaan sih, lagi pula Kak Hyunjae memang tampan kok.”

Serim mendengus tidak terima. Sepersekian detik setelahnya membuat sang kakak hanya menyunggingkan salah satu sudut bibir.

“Nah, bahkan kau masih membelanya. Padahal tingkat ketampanan kakakmu ini sudah mendunia. Kau malah kagum dan bangga dengan orang lain di depanku. Itu cukup menyakitiku, asal kau tau.”

Menaruh gelasnya tegas, “Kak, cukup. Aku tidak ingin mendengar kengartisanmu itu lagi.” ujar Serim dengan nada kesal.

Minhyun tertawa, “Hei kau tidak sadar? Kakakmu ini setampan Hwang Minhyun mantan anggota Wanna One. Nama kita juga sama kan.”

Serim memutar bola matanya jengah, “Lagi pula sejak kapan sih kakak bisa tau tentang Wanna One? Lalu dari mana juga itu tau Hwang Minhyun? Bukankah selama ini, kakak selalu kontra padaku yang mengidolakan mereka?”

“Calon kakak iparmu itu, selalu saja membangga-banggakan Ong Seongwoo Wanna One. Padahal teman kantor yang lain bilang kalau aku ini tampannya setara dengan anggota boy grup itu.“

“Hahahaha... Serius Kak Hyunji suka Wanna One juga? Kenapa bisa aku tidak tau ya.”

Berdiri dan melangkahkan kakinya mendekati kompor, Minhyun mengambil teflon.

“Sudah tidak usah dibahas lagi. Mau makan apa sekarang?”

Serim menampilkan cengiran lebarnya, “Kakak tau saja jika aku sedang lapar.”

Mendengus malas, Minhyun berkata; “Wajahmu itu sejak tadi sudah terbaca. Apa lagi kalau bukan lapar, keki begitu.”

“Hehehe... Aku mau sosis dan telur asam manis dong kak.”

SEE《On Hold》Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang