CHAPTER 1

839 71 10
                                    

[ Vayanina Anastasia Ryker ]

•••

Aku adalah seorang pribumi.

Pribumi adalah budak. Demikian hukum mengatakan. Dan Vayanina Anastasia Ryker berada dalam garis lurus keturunannya.

Hindia Belanda pada era dimana garis merah keturunan dimaha agungkan. Para Netherland itu menghamba sebagaimana hala-hala tak kasat mata pembawa tuah yang ruah. Demikian keramatnya darah para Netherland hingga dicatutkannya menjadi hukum tertulis dan tidak tertulis. Bahwa dengan asal-muasal darah keturunanlah derajat dan harkat seorang manusia ditentukan. Tinggi atau rendah. Budak atau bangsawan.

Yogyakarta adalah hamparan tanah kaya ketika Vayanina lahir dari rahim seorang gundik. Nyai Ageng, namanya. Wanita pribumi yang laku kepada seorang bangsawan Belanda, Albert Van Ryker, yang merupakan seorang elitis pemerintah. Di atas tanah dimana kotak-kotak rumah berderet panjang, bersisian dengan petak sawah dan hektar hutan, Keluarga Ryker hadir sebagai darah biru yang agung. Rumah bergaya Eropa yang mewah lagi megah itu adalah saksi bisu ketika Vayanina lahir sebagai keturunan bangsawan dan menjalani hidup sebagaimana mestinya.

Vayanina kecil menuntut ilmu yang sama dengan kakaknya, Zuniar. Dididik untuk memakai gaun sutra berenda lengkap dengan sarung tangan kain dan topi lebar. Diajarkan untuk berjalan tegap serta dagu terangkat sebagaimana noni Belanda dengan kepongahannya. Dijajalkan adab dan tata krama seorang Netherland. Sampai pada titik tertentu Vayanina masih meyakini bahwa dia memanglah seorang bangsawan. Anak Netherland sebagaimana Zuniar tanpa sedikitpun perbedaan.

Hingga seorang kerabat mengunjungi mereka. Seorang Belanda totok angkuh yang menatapnya penuh sangsi. Kemudian kata itu pun terucap, Binnenlander jongen. (Anak inlander) maka terbukalah mata Vayanina selebar-lebarnya, bahwa ada sesuatu yang menjadi batas di antara ia dan seluruh sanak keluarga.

Hampir enam usianya ketika Vayanina menyadari bahwasanya ada batas yang melintang tinggi antara ia dan semua orang di dunia. “Anak inlander”, kata-kata itu seperti tangan yang menyibak tirai enigma. Semerta-merta saja Vayanina dianugerahi kepekaan yang selama ini menumpul. Semerta saja perbedaan itu terasa begitu jelas dan kasar. Sekasar lidah ayahnya yang menyentak geram acap kali Vayanina mulai membicarakan ibundanya yang berbeda jauh dari ibu Zuniar dan bibi-bibi Belanda-nya.

Sekasar paman, bibi, serta sepupu-sepupunya yang begitu terang menatap penuh rendah dan mencemooh penuh hina tiap kali Vayanina nampak di mata mereka. Lambat laun Vayanina pun mulai menyadari bahwa kesibukannya mulai menimpang dan tidak sama dengan kesibukan Zuniar. Zuniar tampak begitu sibuk mencari ilmu kesana-kemari. Menghabiskan waktu di ELS dengan setumpuk buku. Menyibukkan diri di halaman belakang bersama ayahanda mereka mempelajari teknik berkuda dan menembak.

Sementara Vayanina didekamkan di rumah bersama dua lusin pelayan yang siap melayaninya. Disuguhkan alat musik dan cat lukis agar gadis itu membetahkan diri dan memendam tanya kenapa hanya Zuniar yang disekolahkan. Kenapa hanya Zuniar yang melanglang buana ke dunia luar. Seakan-akan semua itu ada untuk menyembunyikan keberadaannya dari mata dunia.

“Pribumi itu apa, Mbakyu?” Suatu waktu Vayanina bertanya. Usai sepulangnya para sepupu dari negeri yang jauh. Sebelumnya, mereka mendeskripsikan fisiknya dengan begitu kejam. Dikatakannya Vayanina adalah gadis kecil dengan fisik yang aneh. Rambutnya menyala keemasan sebagaimana Netherland, matanya biru layaknya pinang dibelah dua dengan mata Zuniar, tapi wajahnya bagai bercampur dosa-dosa para inlander.

Wajahnya tidak sebagaimana Zuniar yang punya ciri-ciri tegas seorang Eropa sesungguhnya. Vayanina lahir dengan sisi-sisi Asia yang mengaburkan jati dirinya sebagai keturunan bangsawan Netherland.

The Rise of IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang