13. Nomor

1K 80 2
                                    

"AXELL! NILAI KAMU TURUN LAGI INI!"

Teriakan Bu Yanti membuat Axel dan teman-temannya lari tunggang langgang. Mereka menghindari guru BK itu.

"KALIAN BERLIMA JANGAN LARI! MASUK KE KELAS!"

Namun, Axel dan teman-temannya malah menambah kecepatan laju larinya. Bagi mereka, di kejar-kejar oleh Bu Yanti adalah hiburan.

Vero tertawa ketika sudah sampai di rooftop, sungguh, Vero begitu receh karena ulah teman-temannya itu hingga dia tertawa keras.

"Kasihan juga si Bu Yanti itu," kata Marvel dengan nafas terengah-engah.

"Lagian, ngapain juga Bu Yanti kejar-kejar kita, kayak nggak ada kerjaan lain aja," timpal Rey dengan tampang tidak berdosanya.

Vero berhenti tertawa. "Tapi, itu emang kerjaannya kan?"

"Dahlah, jangan di bahas, pushrank aja," sahut Marvel sambil duduk di kursi bekas dekat dengan Axel.

Axel masih fokus dengan rokoknya, menyesapnya dalam kemudian menghembuskannya. Setelah itu, dia buang rokoknya dengan asal.

"Nilai lo turun lagi, Xel?" Tanya Rey.

"Hm."

"Belajar, Xel, masalah sama kerjaan di markas besar biar gue yang atur." Rey menepuk pelan bahu Axel.

"Nggak bisa gitu!" Seru Axel.

"Kenapa? Lo takut uangnya di tilep sama Rey?" Tanya Vero, kemudian cowok berambut keriting itu tertawa.

Marvel berkacak pinggang, heran dengan temannya itu. "Perasaan nggak ada yang lucu deh. Ayo-ayo patungan buat beli obatnya Vero yang habis."

"Lo ngatain gue gila?"

"Enggak!" Marvel mengangkat kedua tangannya seperti tersangka yang kepergok. "Kan lo yang ngomong."

"Kapan?" Balas Vero tidak terima.

"Barusan."

"Kalian berdua itu gila!" Ujar David yang sedari tadi diam.

Ketika suasana sudah hening, Rey kembali melanjutkan perbincangannya dengan Axel yang sempat tertunda tadi.

"Jadi, gimana? Apa alasan lo nggak mau ninggalin markas besar dan bisnis...gelap kita?" Tanya Rey hati-hati.

Axel menghela nafas kasar. "Lo tahu gue udah nyaman sama dunia malam, kita bangun bisnis gelap itu dengan susah payah. Gue nggak mau ninggalin begitu aja."

"Hidup lo itu nggak cuma disana, Xel. Kalau emang lo mau fokus sama bisnis kita, minimal lo harus selesain dulu lah pendidikan lo. Ingat, lo itu juga di beri tanggung jawab sebagai Kapten Basket," kata David.

"Gue bakal mundur."

"Xel, gue nggak tahu harus bilang apa lagi sama lo. Gue cuma mau bilang, jadi orang yang baik dan berguna!" Kata Rey.

Jadi orang yang baik dan berguna. Kalimat itu seakan berputar di otak Axel.

🌙

Axel membuka buku catatan yang di berikan oleh Zevanya. Tulisan Zevanya begitu rapi dan enak di pandang. Entah kenapa tiba-tiba Axel membuka buku itu karena selama ini dia hanya menyimpannya.

Mungkin benar apa yang di ucapkan oleh Rey. Sudah waktunya dia insaf dari dunia malamnya itu dan menjadi orang yang berguna.

Pintu terbuka, menampilkan Syila dengan senyum mengembangkan karena senang melihat anaknya yang belajar itu.

"Axel?" Panggil Syila.

Axel menoleh, menaikkan satu alisnya. Syila mengusap rambut anaknya dengan sayang. "Kamu ngapain?"

"Belajar."

"Mama seneng sekarang kamu udah mau belajar. Memang seharusnya kamu belajar dengan giat karena sudah dekat dengan Ujian Nasional," Kata Syila.

"Pasti."

"Apa perlu mama panggilkan guru privat buat kamu?" Tanya Syila.

"Nggak perlu, Axel sudah punya."

"Oh ya?"

"Ya. Besok dia datang."

🌙

Zevanya keluar dari kamarnya ketika Regar memanggilnya. Dia senang karena ada Regar di rumah.

"Zeva, Mami kamu kemana?" Tanya Regar.

"Zeva kurang tahu, Pa," jawab Zevanya.

Entah dimana keberadaan Sarah sekarang, yang jelas sekarang Zevanya tidak tahu dimana keberadaan ibu tirinya saat ini.

Regar mencoba menelfon istrinya itu, namun, tidak bisa. Telefon Sarah mati. Pria itu tidak memusingkan keberadaan istrinya itu dan memilih untuk menghabiskan waktu untuk anak semata wayangnya itu.

"Kamu sudah makan, Nak?" Tanya Regar.

"Sudah, Pa."

"Selama Papa ada di luar kota, Mami kamu menjaga dan memperlakukan kamu dengan baik kan?" Tanya Regar, membawa putrinya untuk duduk di sampingnya.

Zevanya mengangguk mantap. "Iya, Pa, Mami sayang banget sama aku," katanya.

Regar tersenyum, "Baguslah, jadi Papa tidak perlu khawatir untuk meninggalkan kamu kalau papa ada di luar kota karena Sarah sudah menjaga kamu dengan baik."

Andai jika Regar tahu kesalahannya adalah meninggalkan Zevanya dengan Sarah. Zevanya hanya bisa tersenyum kikuk.

"Pa.."

"Kenapa, Zeva?"

"Kabar Mama bagaimana?"

🌙

Z

evanya terkejut ketika Axel datang ke kelasnya dan ternyata itu mencari dirinya. Hal itu juga membuat teman-teman sekelas Zevanya terkejut.

"Ada apa, Kak? Kakak butuh catatan lagi ya? Aku masih be--"

"Ikut ke rumah gue," sela Axel dingin dan datar.

"Ma--Maksudnya?" Tanya Zevanya takut.

"Apa kurang jelas perkataan gue?" Tanya Axel, matanya setengah terpincing.

Zevanya menggeleng cepat walaupun sebenarnya dia tidak paham apa maksud Axel. Maksudnya, ikut ke rumah Axel itu apa?

Axel mengangguk kemudian mengeluarkan handphonenya, menyodorkan ke arah Zevanya. Lagi, Zevanya di buat tidak paham oleh Axel. Alhasil, dia hanya menaikkan kedua alisnya.

"Nomor lo," kata Axel.

"Oh," Zevanya mengetikkan nomornya di handphone Axel dengan hati-hati, takut jika nanti handphone milik cowok itu jatuh. "Ini, kak." Katanya sambil menyerahkan handphonenya ke Axel.

"Thanks," jawab Axel kemudian pergi.

Zevanya memegang dadanya, jantungnya berdebar kencang seperti waktu dia mencium bau parfum Axel di seragamnya.

__________

Jangan lupa vote, komen, follow dan share!
__________


Axel [My Love Badboy]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang