Sudah empat hari sepulangnya Selin dari rumahnya, Harum dan Batar tak bicara sama sekali. Keadaan yang cukup membuat Harum tak tahu harus melakukan apa. Ia merasa tidak enak dengan Batar, tapi bukankah terlalu berlebihan jika Batar marah hanya karena ucapan Selin yang menyatakan bahwa mereka cocok. Ah sudahlah.
"Rum itu laki simpenan mu ya" setelah fitnah yang hampir seminggu ini ia dengar baru kali ini ada yang bicara terang-terangan di depannya. Sini tepuk tangan bareng dulu.
Harum hanya menatap sinis rivalnya semasa menduduki bangku SMP, ia tidak harus menjawab pertanyaannya toh juga nggak ada gunanya dia tau.
"Beberapa hari lalu aku liat dia didepan rumahmu, kok kamu bisa sih punya simpenan ganteng. Ajari dong" Harum tetap tak menggubris ucapan rivalnya. "Oh iya lupa kamu kan PSK, pasti dapet dari lokalisasi ya. Kalau gitu nggak mau lah walaupun dia ganteng" Putri menatap jijik ke arah Harum.
Sudah cukup sabar Harum mendengar hinaan untuk dirinya, tapi dia tidak akan bisa menahan lagi jika hinaan tersebut mengenai Batar, pria yang sudah mengajarinya mengenal Tuhan. Bagaimanapun Batar adalah pria baik dan saleh tak pantas jika dia dihina sebegitu rendahnya.
"Kenapa kalau aku PSK?" ucap Harum sambil menahan tangisnya agar tak tumpah. " emang salah?" tanya Harum.
"Salah lah, lo itu udah buat malu warga desa tau nggak?" ucap Putri sungguh menohok hatinya.
"Bukankah manusia punya hak asasi manusia untuk menentukan hidupnya sendiri? Kenapa sih kalian suka mengurusi hidup orang lain. Apa masalah hidupmu sendiri kurang banyak sehingga mencari masalah di kehidupan orang lain?" ucapan Harum membuat para wanita disana menatap Harum tak percaya.
"Ini pak uangnya" Harum sudah tidak kuat akhirnya segera membayar belanjaannya dan pergi.
Disepanjang jalan Harum hanya menangis. Bagaimanapun ia manusia biasa yang masih memiliki hati dan jantung yang akan merasakan sakit jika keduanya disayat secara perlahan meskipun hanya dengan ucapan.
Ia mengingat ucapan Batar kepadanya dulu, "kamu tahu yang lebih tajam dari pedang itu apa?" Harum hanya menggelengkan kepala. " lidah, karena segelintir orang terkadang tidak menyadari bahwa ucapannya akan menjadi penyebab hancurnya kehidupan seseorang" .
Harum tersenyum mengingat ucapan Batar kepada dirinya. Harum mulai memasuki pekarangan rumahnya ia menghapus jejak airmata yang tertinggal dipipinya. Dirinya harus kuat, dia tidak harus sedih karena yang pantas menilai hidupnya adalah Tuhan bukan manusia yang derajatnya sama dengannya.
Batar melihat Harum memasuki pekarangan rumah dengan menangis membuatnya bingung, saat mata mereka bertemu Harum hanya memberikan senyum tipis kepada Batar kemudian masuk kedalam rumah.
Suara dentingan sendok dan piring yang mengisi keheningan diantara dua insan. "Kamu nggak papa?" ucapan Batar mengalihkan pandangan Harum pada piringnya yang masih penuh dengan makanan.
Harum menatap Batar hanya tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya. Harum melihat Batar mengambil sebuah gelas dan menuangkan air pada gelas tersebut sampai penuh.
"Ini minumlah" Batar memberikan gelas ditangannya pada Harum. Harum langsung mengambil dan meminumnya hingga tandas, "Terima kasih" ucap Harum.
Harum senang Batar mulai bicara kepadanya lagi, " Aku berangkat kerja dulu" ucap Harum setelah membersihkan meja tempat makan mereka tadi. "Emh aku juga minta maaf soal beberapa hari yang lalu" ucap Harum kepada Batar.
"Saya juga minta maaf," Batar berdiri dari duduknya, " mau saya antar?" ucap Batar sambil membenarkan posisi pecinya.
"Hah?" Harum melongo.
Bagaimana bisa seorang Batar mengantarnya sedangkan ia tak memiliki kendaraan. "Kita jalan kaki," ucap Batar melihat Harum yang hanya diam. Harum seketika kaget setelah mendengar ucapan Batar. Apa barusan dia bilang? Jangan-jangan dia bisa baca pikiran orang?
"Udah nggak usah dipikirin, ayo!" Batar berjalan keluar rumah. Harum dengan setengah percaya menuju ke kamar Sandy untuk mengambil tasnya kemudian berjalan menemui Batar diteras rumahnya.
Pagi yang cukup cerah rimbunnya pepohonan karet membuat mereka terlindungi dari panas matahari. Udara hari ini terasa lebih segar dari biasanya.
Harum melirik Batar yang berjalan disampingnya hidung mancung, alis tebal, wajah cerah, agamanya kuat. Ia tak tahu sampai kapan pria disampingnya ini akan terus ada bersamanya. Apakah dirinya kuat jika pria ini pergi meninggalkan dirinya.
Ah Harum kamu mikir apaan sih?
"Kenapa Rum?" Batar melihat Harum melamun saat menatap dirinya. Harum tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya.
Ada banyak pertanyaan yang mengganjal bagi Harum, pertanyaan yang sengaja ia tahan karena ia belum siap kehilangan Batar. Ah memikirkannya saja membuat dadanya sesak.
Batar adalah pria yang ia tolong beberapa minggu lalu dan sekarang sudah menjadi bagian dari hidup Harum meskipun hanya sebatas teman. Tetapi bukankah seseorang akan merasa sedih jika ditinggalkan temannya, munafik jika menjawab tidak.
"Boleh aku tanya sesuatu?" ucap Harum membuyarkan lamunan Batar.
"Katakan," jawab Batar.
Harum mengambil nafas dalam, " kenapa kamu dulu bisa terluka di hutan pula ?" ucap Harum hati-hati.
Pandangan Batar menerawang kedepan sambil menghembuskan nafas kasar, "Dijebak kemudian dibegal," Harum menutup mulutnya tak percaya dengan yang dikatakan pria disampingnya ini.
"Udah nggak usah kaget," ucapan Batar membuat Harum menatap heran kepadanya. "Ceritanya panjang," lanjut Batar.
"Terus," akhirnya Batar menceritakan semuanya pada Harum dari mulai Ia dibandara sampai terbangun diranjang tua milik Harum.
Harum sedih mendengar cerita Batar, "kalau hari itu tidak ada yang menemukan saya mungkin ceritanya lain lagi," ucap Batar.
"Hus nggak boleh ngomong kayak gitu" sangkal Harum. "Terus rumah kamu itu ada dimana?" tanya Harum.
"Ada di Pas_"
"Woy berduaan aja lo, udah berzina didepan umum lagi nggak malu? Atau urat malu lo udah putus?" teriak Putri dari arah belakang mereka berdua.
"Nggak usah didengerin, ayo!" ajak Batar pada Harum yang terlihat mulai tersulut emosi. Entah akhir-akhir ini banyak sekali yang memfitnah dirinya dan Harum tanpa tau kebenaran, mereka berani menyimpulkan jawaban sendiri.
Batar tak habis pikir dengan manusia jaman sekarang.
Harum sudah melihat tempat ia bekerja yaitu, minimarket waralaba yang memiliki ciri khas tiga warna-nya kuning, merah, dan biru. Harum menatap Batar saat mereka ingin menyeberang. Adem.
Setelah sampai didepan minimarket Batar kemudian berpamitan pada Harum, " Hati-hati, sama makasih banyak," hanya dijawab dengan senyuman dan anggukan.
Batar berjalan menjauh dari hadapan Harum, senyuman tulus yang diberikannya sungguh membekas dibenak Harum. Andai senyuman itu selalu ia lihat disetiap detik, menit hingga jam dalam hidupnya, pastilah ia akan menjadi wanita paling beruntung didunia ini.
•••
"Ketahuilah sesungguhnya kematian itu berada dipelupuk mata kita, cuma kitanya aja yang pura-pura buta." -Rubix NoeDitunggu komentar terbaiknya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Aku Bukan Gusmu
RandomGus Batar "karena aku bukan gusmu" Harum "Aku hanyalah kupu-kupu malam" Balada cinta seorang Gus. (InsyaAllah update 2 minggu sekali)