1

40K 1.8K 82
                                    

"Malam ini pulang ke rumah Mba Nad, kan?"

"Hm."

"Anak-anak nggak usah di ajak. Kasihan mba Nad, kapan istirahatnya?" Dewi mengambil sepatu milik Ibnu, suaminya. Sepasang kaus kaki baru diletakkan di atas meja.

"Dia nggak keberatan."

Dewi menyela dengan cepat, "Mas nggak ngerti apa. Mba Nad memang suka sama anak kecil, tapi bukan berarti setiap pulang ke sana mereka harus dibawa."

Dengan wajah datarnya, Ibnu menjawab, "Anak-anak tidak merepotkannya. Aku lebih tahu dia."

Betul. Ibnu memang lebih mengenal Nada ketimbang dirinya yang baru dinikahi oleh Ibnu lima tahun yang lalu.

"Terserah Mas deh." Dewi menyerah. Setiap kali Ibnu pulang ke rumah istri pertamanya, tidak bosan-bosan Dewi mengingatkan Ibnu tentang kebiasaan Ibnu yang selalu membawa kedua anak mereka ke rumah madunya itu.

"Aku berangkat dulu." Dewi mengulurkan tangannya menyalami Ibnu. "Jam 3 aku pulang. Pastikan anak-anak udah siap," pesan Ibnu sebelum berjalan ke arah mobilnya.

Menduakan hati, tidak mudah. Tapi, ia tengah berjuang. Semuanya memang baik-baik saja. Tidak ada keributan selama lima tahun ini, pun sebelumnya.

Nada Seroja, wanita yang dinikahinya 16 tahun yang lalu, tidak ada cela sama sekali. Wanita yang berasal dari keluarga terpandang dengan prestasi pendidikan gemilang. Istri pertamanya juga seorang dokter spesialis di klinik ternama.
Raut dingin berparas cantik dengan tutur kata lembut, sering membuat Ibnu meradang menahan rindu saat dirinya harus berpisah karena pekerjaan.

Sekalipun pesona Nada menguasai detak jantungnya, waktu yang diberikan Ibnu cukup adil pada kedua istrinya.

Cinta? Nanti saja kita bicarakan.

Sabtu, waktu yang dipakai Ibnu hanya sampai diangka 2. Hari ini hingga dua hari ke depan, ia akan berada di rumah Nada.

"Anak-anak ke mana?" sambutan biasa ketika Ibnu pulang, usai Nada mencium tangannya.

"Di jemput pak Adi."

Mata itu, hanya melihatnya sekilas. Tidak mengandung ekspresi apapun. Sebatas melihat, layaknya melihat orang lain.

"Makanan sudah dipanaskan." Nada memberitahu Ibnu, dan mengajak laki-laki itu ke ruang makan.

Ada begitu banyak kenangan di sana yang tidak ingin dilupakan Ibnu. Selain kebiasaannya yang tidak pernah dilupakan oleh Nada, perhatian wanita itu juga masih sama.

Cumi balado, tumis kerang, sayur asam juga asin kering. Semua itu kesukaan Ibnu, dan selalu disediakan Nada di hari pertama laki-laki itu pulang.

"Dewi sehat?"

"Sehat," jawab Ibnu. Matanya melirik Nada yang juga bersiap untuk makan bersamanya. Nada masih seperti dulu, menemaninya disetiap jam makan selama dirinya tidak disibukkan oleh pasien dan jam operasi.

"Sibuk akhir-akhir ini?" Ibnu mulai mencuci tangannya.

"Seperti biasa."

Komunikasi mereka, bisa dikatakan normal.

"Alfian, dia tidak menghubungimu?" menyinggung anak semata wayang mereka yang tengah menempuh pendidikan di Mesir menjadi topik yang akan selalu dibahas Ibnu ketika pulang ke rumah Nada.

"Dua hari yang lalu. Sedang persiapan praujian."

Ibnu mengangguk dan mulai memasukkan nasi ke dalam mulutnya. Pedas, manis, asin. Satu kata 'pas' untuk suapan pertamanya. Rasanya selalu sama.

Sepuluh menit mereka menyelesaikan acara makan siang, tepat saat suara salam yang tidak asing terdengar.

Kedua anaknya dengan pernikahan Dewi, memeluk erat pinggang Nada. Berceloteh ria seperti biasa dan dengan cepat Nada bergabung dengan kedua anak tirinya meninggalkan Ibnu dengan tatapan yang menyatakan, tidak apa-apa, asalkan dirimu baik-baik saja.

Usai makan malam, Ibnu, Nada dan kedua putrinya menonton televisi di ruang keluarga. Rutinitas biasa sejak lima tahun yang lalu. Setelah itu, Nada akan menemani putri kembar, Naila dan Nelli tidur. Seperti biasa pula, Nada akan kembali ke kamar dua jam menjelamg subuh.

"Sudah berapa lama?"

"Selama yang diinginkan," jawab Nada tanpa terkejut sama sekali. Perlahan ia menarik selimut yang sama yang digunakan Ibnu.

Ibnu rindu.

"Selamat istirahat." kalimat Nada meredam redup penerangan kamar. "Semoga, akan ada jawab untuk tanyaku."

Ibnu tidak menahan mata yang sudah terpejam itu. Tidak menyentuh wajah yang lena tengah menghadap ke arahnya.

Rindunya ia semaikan bersamaan sepucuk doa agar semuanya selalu baik-baik saja.

Wajah wanita 32 tahun itu masih secantik dan se-mempesona dulu. Masih menggetarkan dadanya. Wajah itu masih menyisakan debaran cinta tanpa berkurang satu mili-pun.

"Mas rindu..." bisikan itu nyata adanya. Menyayat si pemilik hati yang berusaha lena dan lupa pada semua keadaan.

Dalam lenanya, wanita itu merangkai syair.
Jangan katakan rindu, jika tak bisa tulus.
Jangan katakan rindu, jika waktu mudah terhapus
Jangan katakan rindu, jika aku bukan satu-satunya
Percayalah, rindu itu tidak ingin kurayu.

🐝

💕

Istri pertama mas IbnuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang