10

11.5K 1.3K 114
                                    


Klo ada mas Wisnu, tag saya ya?

🐝

Pernah menciptakan bahagia, jauh sebelum Ibnu mengukir mahligai bersama wanita lain. Ketika itu terjadi, sinar enam belas tahun silam mulai redup bersamaan perasaan yang hambar.

Salah Nada tidak mengikhlaskan.
Salah dirinya juga, tidak melepaskan.

Kuntum bunga dihatinya memang masih ada untuk lelaki itu. Masih ia siram ditengah terik dan gersang perasaannya.

"Dr. Deddy tidak pernah datang ke mari?"

"Pernah."

Ibnu menghalau panas yang meraup dadanya sejak semalam. Tanpa sengaja, saat laki-laki itu menyiapkan makan malam, ia melihat sepasang gelas yang menggangu pikirannya. Dan pagi ini, ia kembali melihat benda tersebut.

Harusnya ada satu. Bukan sepasang. Bukankah begitu?

"Lama?"

"Mungkin akan menginap seandainya kami sudah sah."

Tanpa melihat istrinya, Ibnu menuangkan kopi buatannya ke dalam dua buah cangkir dengan gejolak emosi yang ditahan dengan baik.

"Untuk ukuran seorang laki-laki, dr. Deddy cukup setia."

Ibnu tidak suka mendengar kalimat pujian itu.

Mengabaikan raut Ibnu, Nada melanjutkan, "Bukankah itu waktu yang lama untuk menyendiri?" kembali pada angannya dulu, Nada juga menginginkan laki-laki dengan setianya. Ia pikir, Ibnu memiliki itu.

"Setianya menggetarkan setiap jiwa yang mengetahui kisahnya."

"Sempurna ya?" tanya itu terlontar dengan tajam dari bibir Ibnu.

Nada mengangguk.

"Kamu ingin dilamar olehnya?"

"Mimpiku tidak serendah itu," jawab Nada pelan disertai dengan tatapan datarnya.

"Berarti dia pernah melamarmu? Mas lihat, ibumu menyukainya."

Nada mengangguk, membenarkan ucapan Ibnu. "Aku juga menyukainya."

Tiga kata itu, diartikan dalam ruang yang sempit oleh Ibnu.

"Benar, dia pernah melamarmu?"

"Kenapa tidak tanyakan langsung padanya?" tukas Nada pelan.

Ibnu memejamkan mata. Nada membuatnya gila. Tidak tahukah wanita itu betapa gila dirinya selama tiga bulan ini? Tidak. Nada telah membuat laki-laki itu kebingungan menggapai hatinya selama lima tahun ini.

"Kalau dia melamarmu?"

"Aku harus jawab apa?" Nada balik bertanya.

"Menurutmu?"

Cecaran Ibnu dibalas bijak oleh Nada, "Mungkin aku harus mengosongkan gelas lamaku."

Ibnu mendecih. Riwayat perasaanya, tak akan berumur panjang.

"Meninggalkan keraguan untuk sebuah kepastian. Orang waras akan melakukannya."

Ibnu sadar, jika Nada tengah merendahkan perasaan wanita itu sendiri.

Meneguk kopi pagi buatan Ibnu untuk pertama kalinya setelah lima tahun bermesraan dengan pahit kisahnya, Nada memberi sebuah argumen.

"Kopi ini bukan untukku."

Ibnu yang sedang diapit emosi dan gelisah, ikut meyesap cangkir kopi miliknya.

"Mas tidak melihat susu." Ibnu berkata jujur. Matanya hanya menangkap sepasang gelas yang cukup mengganggu hatinya.

Istri pertama mas IbnuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang