Matahari di atas atap, mengungkung sepasang manusia dalam sebuah apartemen karena teriknya hawa siang itu.
Berbicara dalam bahasa syahdu, melanjutkan tirai yang sempat tersibak sejak semalam.
Keduanya merindu. Rindu yang sama yang tengah diluapkan dalam batas halal.
Keringat memberikan sebuah pernyataan tentang ingin yang tertunda karena keadaan yang mengecewakan.
Apakah Ibnu harus mengucapkan terimakasih untuk buaian semalam dan sanjungan beberapa menit yang lalu?
Diam, sebelum mengutarakan dalam bahasa yang sebenarnya. Tangan itu masih ia genggam bersamaan kecupan berkali-kali menyambut hangatnya pelukan yang tak ingin dilepaskan.
Ibnu tidak perlu bertanya, kenapa dalam waktu tiga bulan wanita itu tidak memberinya kabar. Laki-laki itu juga tidak perlu bertanya, apa yang dilakukan sang wanitanya selama ini.
Sambutan Nada sudah cukup menjawab semua tanya yang pernah terlintas."Mas kurusan, kamu juga."
Dalam pelukan Ibnu, Nada mengangguk.
"Sama-sama makan hati," sambung Ibnu mengeratkan pelukannya.
Ibnu tahu, Nada tidak akan menerimanya begitu saja. Akan ada sebuah konsekuensi nantinya. Ia hanya perlu menunggu.
Bolehkah ia tahu, "berbedakah rindumu dengan Mas?"
Mata Nada terpejam dalam pelukan itu. Dingin AC menghapus titik keringat membuatnya nyaman dalam posisi tersebut.
Tanya Ibnu ia biarkan. Karena tahu, laki-laki itu butuh jawabannya hanya sebagai kepastian.
Lima tahun, yang pernah tersentuh tangan dingin. Sesekali kening yang sering dipaksakan.
Ibnu ingin bertanya, ia tidak ingin kehilangan Nada, tanpa menyakiti Dewi, tapi akan melepaskan Dewi jika resikonya harus terpisahkan dengan Nada. Apakah dirinya laki-laki jahat?
Perasaan yang tumbuh pada Dewi mungkin sebatas kasih, karena ada anak-anak di antara mereka. Berbeda dengan perasaannya pada Nada.
Namun tanya itu ia simpan. Akan dikaji sebelum sebuah keputusan diambil.
Cukup lima tahun, mereka tidak saling menyapa dalam bahtera. Ibnu berjanji, tidak akan terulang lagi apa yang pernah terlewatkan.
"Kabari Mas. Jangan diam setelah tahu hasilnya."
Nada sadar. Suaminya kini bukan miliknya sendiri. Ia sudah berbagi.
Merasakan pergerakan Nada, Ibnu kembali mengeratkan pelukannya.
"Sudah hampir 24 jam."
Ibnu menjawab, "Kita pernah melewatkan jutaan jam."
"Tidak untuk sekarang," balas Nada pelan.
Di telinga Ibnu, suara wanita itu sungguh mendayu-dayu.
"Akan Mas berikan benda itu pada Ibu."
Tubuh Nada menegang, mendengar kalimat Ibnu.
"Mari kita lihat, masihkah ibu menganggapmu sebagai menantu?"
Nada tidak butuh itu. Ia hidup bukan untuk membahagiakan orang lain. Pernah dilakukannya, tapi cukup belasan tahun yang lalu.
"Aku akan hamil?"
Ibnu mengangguk, dengan sengaja menyentuhkan hidungnya pada rambut Nada.
"Dua tahun sebelum Mas menikah dengan Dewi, kamu tidak minum obat itu lagi." Ibnu tersenyum, ketika bayang bahagia samar mulai terlihat.