22

1.9K 177 3
                                    

Ingin Nada, agar dirinya menjaga komunikasi dengan Dewi karena anak-anak, akan dilakukan Ibnu. Syarat yang diminta oleh Ibnu, disetujui oleh Nada. Wanita itu akan mendampingi selama Ibnu menjalin silaturahmi untuk menghindari pengaruh mental buruk pada anak-anak. Nada sudah berbicara dengan Dewi, dan mengerti saat Dewi mengatakan tidak ingin dulu bertemu atau berbicara dengan Ibnu.

Tentu Ibnu akan melakukan apapun, asalkan Nada bertahan di sisinya. Terlebih ada Ray sekarang, dan Alfian akan pulang. Waktu singkat Alfian akan digunakan sebaik mungkin oleh Ibnu.

Termasuk kembali ke rumah mereka setelah enam hari tinggal di apartemen.

"Mas membersihkannya?"

"Aku menyuruh orang."

Nada menghargai kepedulian Ibnu, tapi cukup dalam hati. Kembali bukan berarti semuanya membaik. Tidak ada yang perlu diperbaiki oleh Nada. Entahlah dengan Ibnu, Nada tidak memaksa, karena tahu jarum jam tak akan berputar terbalik arah.

Masuk ke kamar, Nada mencium aroma yang tak asing. Wangi parfumnya, yang sudah tidak dipakai. Karena itu parfum kesukaannya yang dibelikan oleh Ibnu.

"Tidak ingin mengatakan sesuatu?"

"Ada."

Ibnu menunggu. Tubuh setengah miring bersandar di kusen pintu kamar. Tangan yang santai ada dalam kantung celananya.

"Aku mau istirahat. Makan malam, pesan di luar saja."

Oke.

Ibnu menerima. Walaupun bukan hal itu yang ingin didengarkan olehnya.

Masuk ke dalam, laki-laki itu berbaring di samping Ray.

"Nyenyak banget kamu, Nak."

Nada bukan lelah, tapi mengantuk. Cuaca mendung sore ini membuatnya ingin rebahan.

"Besok malam tidur sama Mas Alfian ya."

Ia tidak peduli pada ocehan Ibnu. Rasa kantuknya tak bisa ditunda. Selang hitungan menit, wanita itu sudah terlelap meninggalkan Ibnu dengan tatapan rindunya.

Mengangkat Rayyan, agak ke pinggir, Ibnu tidur di tengah. Sebelah tangan digunakan untuk menopang kepalanya, karena laki-laki itu ingin melihat dari jarak dekat wajah wanita yang teramat dicintai.

Besok, mungkin akan ada badai.
Kumohon percayalah, kalau aku tetap akan tetap di sisimu.
Cukup sekali kehilanganmu, hingga aku melewati tumbuh kembang darah dagingku, kesakitan juga rindumu yang terbelenggu.

Wajah itu masih cantik. Ibnu tidak pernah lupa pada raut ramah nan ceria sebelum ia mengambil keputusan sulit. Dan, ia tak akan lupa pada raut dingin Nada setelah ia menikahi Dewi, sungguh ia tidak ingin mengulang kisah kelam itu.

Mengecup dalam kening wanita itu, menyalurkan cinta dan rindu yang teramat dalam. Ia tak akan melepaskan lagi, akan dijaga dengan baik kekasih hatinya. Tanpa membangunkan Nada, Ibnu melingkarkan tangannya di perut ramping istrinya. Ia rindu, tak apa jika seperti ini dulu. Ia tak ingin memaksakan egonya untuk mencumbu Nada.

Sedikit saja, mungkin. Laki-laki itu tidak tahan. Saat ini posisinya sangat dekat dengan Nada, mereka juga bersentuhan. Apalagi ketika Nada bergerak dari posisi terlentang menyamping ke arahnya, seolah wanita itu menyerahkan diri.

Bibir Nada, menggoda. Mata ibnu tak bisa berpaling. Dagu itu menantangnya. Jangan lupakan sepasang gunung kembar itu, menekan dada bidangnya.

Maklum, sudah satu tahun lebih. Wajar jika sesuatu memberontak dalam dirinya.

Ibnu akan meminta maaf dengan caranya. Ia akan mempermudah tanpa melukai.

Bibir Nada dikecupnya sekali, dengan hati-hati. Sekali lagi, tanpa membangunkan wanita itu. Lidahnya juga tak bisa diam.

Detak jantungnya berlomba, antara takut wanita itu terjaga dan gelora yang akan membakarnya.

Tangan laki-laki itu meremas apa yang bisa di remas, rasa inginnya tak bisa dikendalikan. Ukuran dada dan pinggul wanita itu cukup menggoda.

"Aku mengantuk." dua kata itu keluar dengan suara lemah, tepat saat Ibnu melepaskan pagutan bibirnya.

"Mas rindu," balas Ibnu tidak bermaksud egois. Ia kembali mencium Nada. Hasrat dan logika sepenuhnya sadar. Laki-laki itu mengakui, jika selamanya, pesona seorang Nada Seroja tak akan pernah luntur.

Sudah lama ia menahan gejolaknya, bisakah sore ini ia luahkan?

"Mas mau kamu, sayang."

Nada sedang tidak ingin, bukan tidak merindu. Ia juga tidak mengukum hanya membuat laki-laki itu menyadarinya. Menyadari perbuatan yang pernah dibenarkan tanpa memikirkan perasaannya.

Sekalipun Ibnu telah menjelaskan semuanya, wanita itu belum bisa menerima. Kendati demikian, Nada menghargai perasaan laki-laki yang masih menjadi suaminya.

Ray terjaga. Dan Ibnu harus bersabar. Ia menunggu, bukan mengakhiri di kamar mandi.

Diangkatnya Ray, lantas Ibnu menidurkan di samping Nada.

Laki-laki itu menekan ludahnya berkali-kali. Dalam hati ia berkata, setelah Ray, giliranku.

Nada menyusui, tapi matanya sesekali melihat Ibnu. Tahu, jika laki-laki itu tengah menahan sesuatu. Ia tidak perlu meminta maaf kan? Bukan mendendam, hanya ingin membuat Ibnu sadar, tidak mudah mengembalikan apa yang pernah hilang.

Merasa aneh dengan tatapan Ibnu, Nada bangun. Ia duduk memangku Ray menyusui payudara sebelahnya lagi.

Melihat Ray sudah kenyang, Nada mengajak anaknya bicara.

"Tidak tidur lagi?"

Suara Ibnu mendapat perhatian Nada.

"Anak kecil biasanya tidur kan setelah kenyang?" tanya Ibnu lagi.

"Tidak semua."

Ibnu menarik nafas dan menghembuskan pelan.

"Aku keluar sebentar."

Nada tidak bertanya.

"Jangan ke mana-mana. Jangan bukakan pintu kalau ada orang."

Ibnu mengambil kunci mobil dan bergegas keluar dari kamar. Nada tidak penasaran. Tidak juga membuat dugaan.

Nada tidak membenci.
Tidak mendendam.

Duri itu sudah tercabut. Bekasnya masih terasa sakit. Ia butuh waktu untuk sembuh. Butuh ruang untuk kembali menata rasa yang pernah tercecer.

Kesendiriannya dalam satu tahun tanpa didampingi Ibnu, mengajarkannya arti setia. Ia tidak belajar, karena setia hatinya milik laki-laki itu.

Ancaman Sandra saat itu, terjawab sudah. Hatinya milik Ibnu. Membiarkan Ibnu mendua tanpa membentengi hatinya saat itu, mutlak kesalahannya.

Cemburu? Wajar, karena ia mencinta.
Marah? Wajar, sebab ia merindu.

Saat ingin memeluk, bayangan laki-laki itu tak bisa diraih. Ketika ingin menyandingkan rasa, ia ragu, masih samakah, atau sudah terbagi?

Kini, semuanya telah kembali.
Ia sudah pulang, bisakah Ibnu bersabar selama ia bertahan dalam sakit enam tahun silam?

Jangan berlindung di belakang Ibnu. Keluar, kalau kamu memang mau lihat aku menguliti wajahmu.

Pesan pertama setelah beberapa saat Nada memasukkan sim card ke ponselnya.

Nada tahu, siapa pemilik pesan itu. Wanita itu tidak takut untuk keluar, melainkan ia sedang menjaga amanah Ibnu.

















Istri pertama mas IbnuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang