"Apa tadi?"
"Ibu yang berhak menjelaskannya."
Tatapan Ibnu kosong. "Aku hanya punya anak-anak, apa maksudnya itu?"
"Pergi. Tanyakan pada ibu." Nada tidak ingin, mengatakan hal yang diungkitnya beberapa saat lalu.
Sandra telah pergi dengan amarahnya. Tidak ada yang tahu rencana apa yang akan terjadi esok hari.
"Kamu menyembunyikan sesuatu."
Nada membuka kancing bajunya, mulai menyusui. Cukup lama Ray tidur, baru sesaat yang lalu putranya itu bangun.
"Sudah kuakatakan. Ibu yang berhak."
"Aku suamimu. Pantaskah kamu membuatku terlihat bodoh setelah melalui semua ini?"
"Alfian akan tiba besok. Malam ini, selesaikan semuanya dengan ibu." Nada tidak mau esok hari, keluarganya yang baru berkumpul setelah sekian lama tak bertemu dirusak oleh wanita bernama Sandra.
Ia sudah menantikan moment ini sejak lama. Tak bisa dimaafkan siapapun yang memaksa masuk dan menghancurkan kebahagiaannya.
Selama hidup, ia tidak mengurusi orang lain. Cukup membingungkan ketika peristiwa demi peristiwa terjadi dalam hidupnya.
"Pergi dan selesaikan. Setelah itu, aku akan menjawab semua terkaan Mas."
Nada tidak melihat Ibnu saat berbicara. Fokusnya pada Ray yang sedang menyusui.
"Apakah aku harus mendengar darinya?"
Nada tidak menjawab.
"Baiklah. Aku pergi. Terserah padamu mau mencariku setelah kebingunganku terjawab atau tidak."
"Bijaklah. Mungkin yang akan Mas ketahui sebuah pengkhianatan. Tapi, jangan biarkan Alfian menanggung hari suram esok."
Pikiran Ibnu meracau. Antara bingung, marah dan kasihan pada diri sendiri.
"Aku tahu, Mas bukan tipe laki-laki kasar. Anggap dia ibumu. Setelah Mas mendengarkan semuanya."
"Apakah ada kaitannya denganmu yang tidak mau berpisah denganku saat aku menikahi Dewi?"
"Pergi. Mas lebih butuh penjelasan. Bukan jawaban."
Bantingan suara pintu didengar oleh Nada. Ray ikut merespons karena terkejut.
Nada mengerti. Ibnu sedang galau. Bukan masalah sepele. Nada tidak sanggup menceritakannya. Biarlah Ibnu mencari tahu, agar jati diri lelaki itu tak digilas sengsara.
Kediaman Sandra didatangi oleh Ibnu. Dari teras Ibnu bisa mendengar bantingan dan bunyi pecahan kaca. Pintu rumah tidak dikunci. Melangkah pasti, Ibnu masuk ke dalam rumah yang penuh kenangan masa kecilnya. Sebuah ruangan yang diketahui ruang kerja almarhum ayahnya, Ibnu menginjakkan kakinya. Karena dari sanalah suara itu berasal.
Pintu ruangan itu sedikit terbuka. Dari celah pintu, Ibnu bisa melihat Sandra tengah mencaci maki. Banyak kata-kata kotor yang tak pantas diucapkan.
"Siapa dia?" mata Ibnu menelisik sebuah bingkai yang dipegang Sandra. Bingkai yang berisi sebuah potret.
"Jalang itu yang menyuruhmu ke sini?"
Dingin kalimat tanya Sandra dibalas Ibnu. "Apakah aku mengenalnya?"
Sekali bantingan, bingkai kaca itu berubah menjadi pecahan kaca setelah menghantam dinding ruang kerja almarhum ayahnya.
"Kastamu akan berada di titik terendah, jika kamu mengenalnya."
Kaki Ibnu tertuntun ke arah bingkai yang telah hancur.
"Jangan mendekat. Dia tidak pantas disentuh oleh tanganmu."