6

12.9K 1.5K 155
                                    

Sekian purnama yang dilewati, tak pernah sesuram malam itu. Ufuk sepertiga-pun tidak memenuhi ruang disudut angkasa, dikarenakan  seberkas sinar putih melintas cepat dari langit timur.

Tak ada harap pada awan untuk malam itu. Ia sendiri masih bergelut dalam hangatnya senja seolah menolak datang sang malam.

Di sudut ruang tamu, sepasang manusia masih bercumbu dengan pikiran masing-masing. Entah menyalahkan takdir, atau memeluk khilaf.

Sebuah kejelasan bernama luka, tentu sudah menjadi teman sejak lima tahun yang lalu. Diamnya bukan untuk memendam sakit, melainkan acuh pada luka yang tak pernah diundang.

"Aku menerima. Tidak menyalahkan." suara itu berasal dari wanita yang duduk di kaki sofa beralaskan permadani. Wanita itu adalah Nada.

Balutan kain satin ditubuhnya, terbungkus selimut tebal. Melindungi dari dingin yang memaksa masuk.

"Aku tidak pernah kalah. Selama ini aku menunggu waktu bergulir, pada siapa yang dikehendakinya."

Ditatapnya punggung laki-laki yang akan selalu menjadi cinta pertamanya, hingga api itu padam.

Dalam temaram cahaya malam, keduanya bertahan. Mengajak hati saling mengakui apa yang dimau tanpa mengusik ketenangan jiwa.

"Kesalahan Mas memilih mendua, membuatmu jauh dari Mas." Ibnu mengakuinya.

"Bukankah Mas harus menerima?" tanya Nada.

"Egois kalau tidak." jawaban Ibnu sangat bertolak belakang dengan isi hatinya. Yang ingin dikatakan laki-laki itu bukan perkara egois.

"Lima tahun, Mas tidak tersiksa." Nada mengatakan dengan nada datar.

Salah. Ibnu sangat tersiksa. Yang mampu ia raih tangan wanita itu. Rindu untuk memeluk selalu diurungkan,

"Aku sudah menabung dosa untuk sebuah pilihan," lanjut Nada.

Sepi malam, ditemani detak jarum jam, yang tertempel pada dinding rumah itu. Dua belas angka itu menjadi saksi pada dua jiwa yang tengah mamaksa diri menerima keadaan, menyampingkan luka hati masing-masing.

"Berani memilih, artinya setia." dan aku tidak butuh lagi setiamu. Mencintaimu, cukup sepanjang perjuanganku, ketika bahagia lain telah menyapa, aku memilih pergi. Lanjutkan perjuanganmu dengannya.

"Maaf sudah Mas sampaikan."

"Aku tidak istimewa," balas Nada.

Retak hati Ibnu menyambut larut yang semakin gelap. Nada istimewa dengan segala yang ada pada diri wanita itu.

Diam, tidak akan menghentikan pergerakan malam menuju pagi. Dendam pula, tidak akan menghentikan hati memuja pemiliknya.

Kodrat wanita harus menjadi seorang ibu yang utuh, tidak bisa ditepis dari pandangan ibu mertua wanita itu. Tapi, jangan lupakan fakta, siapa yang menjadi dalang penyebab wanita itu harus menyandang kata cacat dalam arti sebenarnya.

Ingin dibuktikan Nada, tapi sebelum itu terjadi, ibu mertuanya terlebih dahulu mengintervensi.

"Ibu? Alfian memanggilku dengan sebutan itu." cukup bahagia memiliki anak seperti Alfian. Dihormati seorang anak lebih membahagiakan dari pada ia dianugerahkan seribu piagam penghargaan.

Nada punya mimpi. Dan mimpi indah wanita itu sudah dihancurkan ibu mertuanya dalam waktu 12 jam. Dan, Dewi lah yang menjadi duri tak berdosa itu.

Nada tidak marah pada madunya.
Ia hanya kecewa pada suaminya.
Nada tidak menangis untuk orang yang mengkhianatinya.
Marahnya pada hati, yang terlalu meng-agungkan dia, yang tak akan sepenuhnya dimiliki.

Cukuplah ketamakan itu.

Yang ingin disampaikan Nada adalah, "Katakan pada ibu, aku akan membawa pulang bayi lucu." bukan untuknya. Tapi untuk hidupku.

'Jangan lakukan itu'. Tiga kata itu hanya bertahan di tenggorokan Ibnu.

"Aku akan berusaha. Tuhan melihatku. Melihat usahaku." terpenting Dia melihat hatiku. Aku tidak akan menangis lagi untuk sebuah perasaan.

Mencintai diri sendiri, yang akan dilakukan wanita itu. Caranya? Biarlah dia dan Tuhannya yang tahu.

"Dr Deddy?"

"Jangan libatkan orang dalam dosa yang kita lakukan." nasehat Nada dibenarkan Ibnu dalam hati.  "Aku tidak diberi kesempatan. Kali ini, aku juga tidak akan memberikan kelonggaran." bagi siapapun.

"Mas tidak menuntutmu."

"Inginku menjadi sempurna." biarlah aku jadi egois untuk kebahagiaanku. "Jangan tanyakan. Kenapa harus melakukan ini?"

Alasannya, ada pada ibu Ibnu. Nada belum berusaha pada mimpi indahnya. Nada belum membingkai senyumnya. Tapi ibu mertuanya sudah menggoyahkan harap yang belum tersampaikan.

"Mas tahu kamu istimewa."

Tidak lagi sekarang. Lima tahun yang lalu, laki-laki sudah mematahkan anggapan tersebut menguatkan prasangka ibu dengan menerima wanita kedua, itu menurut Nada.

"Mas tahu, kamu bisa."

"Keyakinanku tidak berkaitan dengan Mas." lagi. Kalau dulu laki-laki itu menjaga prinsipnya, tidak akan ada kejadian seperti hari ini.

Keputusan Nada, bukan tidak berat. Mengingat kecewa yang telanjur menyapa, juga bahagia yang sudah tergadaikan, membuatnya ingin menebus semua itu dengan caranya sendiri.

"Aku cuma punya satu hati." yang sudah tak terbentuk. "Mengakui, hingga saat ini nama Mas masih menjadi yang pertama." nilai setiaku  sudah diberi harga oleh ibu Mas.

Memeluk diri dalam balutan selimut, mata wanita itu berkaca. Disaksikan langit, urat itu semakin membiru, menahan sakit karena cengkraman di pergelangan tangan.

Tak lagi sanggup menahan dinginnya malam, euforia kesakitan meluap hingga membuat wanita itu harus menumpukan dagu pada lutut yang tak kalah dingin.

"Aku masih mencintaimu." sebuah pengakuan, menghantam keras dada laki-laki yang masih duduk membelakangi wanita pertamanya. "Sangat," itu sebuah desahan dari hati yang menggambarkan, jika pemilik suara itu berada di titik terendahnya.

"Sadar, mencintaimu tak lebih penting dari bahagiaku." karena aku pernah menjadikanmu yang terpenting diantara yang penting. Tapi, cukup masa itu.

"Bersamaku, Mas pernah bahagia." ingatan Nada kembali di saat ia melihat air mata bahagia suaminya, kala si kembar dilahirkan. "Dengannya, Mas juga akan bahagia."

Ruangan itu masih sepi. Tangis dalam diam keduanya disaksikan malaikat. Biarkan Tuhan yang menyembuhkan luka terdalam itu. Biarkan Tuhan hadirkan ikhlas itu, tanpa memelihara dendam karena alasan kecewa.

Inginnya sudah kuat. Melepaskan tanpa harus melupakan. Bertahan dalam sakit, bukanlah solusi yang bijak.

Waktu akan menjawab, Nada hanya butuh kepastian, yaitu, "Jangan bebankan dosa atas kepergianku." jika ada dosa terdahulu, akan ditebusnya. Sebelum meninggalkan laki-laki itu, Nada butuh restu.

Bagaimanapun juga, laki-laki itu masih berstatus suaminya. Meskipun tak ada lagi ikatan erat seperti dulu. Sebelum dia datang.

Untuk apa bertahan, jika tidur dengannya saja membuat sesak. Untuk apa membuka pintu rumahnya, jika ia sendiri tidak menunggu kedatangan laki-laki itu.

Sudah tahu? Sekuat apa cinta wanita itu?
Bisa memaklumi, jika kata baik-baik saja selama ini dijaga, agar martabat laki-laki itu tidak mencium bau tanah?

Bagaimana harga setia seorang istri?
Kalau sebatas darah, Nada bisa melakukannya.
Tunggu dan lihatlah.

Ia akan membesarkan darah dagingnya.
Akan ia buktikan pada dunia, ia sempurna dengan kuasa Tuhan-Nya.





Istri pertama mas IbnuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang