"Profesional."
Satu kata Nada dibalas oleh Ibnu. "Itu perusahaan Mas. Masuk atau tidak, tidak ada yang Mas rugikan."
Dua hari Ibnu tidak masuk kantor. Jatah pulang ke rumah Dewi, dibatalkan. Tentu atas izin istri keduanya itu. Berhubung Nada akan berangkat tiga hari lagi, dan Dewi memahami keadaan keduanya.
"Mas tidak memintamu protes untuk waktu yang Mas luangkan."
Nada tidak lagi mendebat laki-laki itu. Memang benar, perusahaan itu milik Ibnu, seenggaknya, laki-laki itu bisa mengendalikan dirinya.
Sudah dua hari Ibnu berada di rumah. Menunggu Nada pulang dari kantor, mengobrol dan berakhir dengan perdebatan dingin.
"Tiga hari, waktu yang kamu berikan untuk Mas." rasanya sangat tidak adil. Bisa saja Ibnu mengekor di belakang Nada. Namun Nada tidak menginginkannya ikut. Wanita itu sudah mengambil keputusan yang sudah dikomporin ibu mertuanya.
Tiga hari? Lantas apa arti 16 tahun? Karena sebuah permintaan atas seorang anak mudah mendua. Bukankah Mas sangat menghormati ibu?
"Sebelum pergi, tidak ada yang ingin kamu lakukan untuk Mas?" biarlah ia banyak meminta, jika dengan itu Nada akan melihatnya.
"Apa yang bisa kulakukan, Dewi juga bisa melakukannya." Nada menjawab tanpa melihat lawan bicaranya. "Lagipula, Mas mau minta apa?" masakan kesukaan Mas setiap hari kuhidangkan, pakaian Mas selalu rapi kusiapkan, pintu rumah selalu kubuka saat Mas datang.
"Memelukmu."
Tidak terkejut mendengar permintaan Ibnu, Nada mengatakan, "Peluklah." tapi maaf. Tubuhku tak sehangat dulu.
Bukan langsung memeluk, Ibnu menatap dalam, wajah wanita yang duduk tiga jengkal darinya. Dulu, dia paham setiap detail tarikan nafas itu, tidak sekarang.
Tenang, dan Ibnu merasa terbebani dengan sikap istri pertamanya.
Ruang tamu, bukan kamar. Kalau dulu tempat itu bisa digunakan untuk memadu kasih, sekarang cuma tinggal kenangan. Kesan manis dan hangat, sudah lebur bersama rasa sakit.
Jika terlalu sakit, kenapa tidak bercerai saja? Pernah terpikirkan, tapi kalah oleh rasa. Wanita itu tidak munafik, ia memang sakit, tapi masih cinta. Dirinya memang kecewa, tapi rasa sayang masih kuat. Lantas kenapa bersikap seolah-olah ia baik-baik saja?
Hamburg, bisa dijadikan tempat ia menimbang rasa. Memikirkan alur kehidupan yang menjeratnya dalam jurang kesakitan.
"Sudah lama."
Dua kata yang diucapkan oleh Ibnu, disaring dengan baik oleh Nada. Dengannya memang sudah lama, tapi bukan berarti laki-laki itu tidak pernah melakukan dengan madunya.
"Selama itu? Bagaimana kalau sudah gersang?"
Tangan Ibnu mengepal. Ia tahu, Nada sedang menyindirnya.
"Apa harus Mas buktikan dulu. Kuharap jangan kecewa." tiga detik setelah mengatakan itu, Nada berdiri dan siap masuk ke kamar.
"Aku menyuguhkan. Semoga Mas tidak kecewa."
Mata Ibnu terpejam, memaknai untaian kata Nada, yang menerjang hangat hatinya dengan badai dingin.
Satu jam, laki-laki itu berada di ruang tamu. Meresapi keadaan yang sudah berlangsung selama lima tahun. Dan ia merasa, Nada akan mengakhiri klimaks ini. Dan, sebuah skenario besar, bisa dilihat dengan jelas oleh Ibnu.
Apa yang akan dilakukan Nada? Takutnya dugaan Ibnu akan terjadi. Ending-nya? Ibnu bukan takut sakit. Kehilangan Nada, sama saja separuh jiwanya hilang.