Nada tidak henti mencium dan memeluk anak laki-lakinya. Lima tahun tidak bertemu, rindu itu sangat menggebu.
Alfian sudah besar. Nada merasa jadi ibu hebat untuk anak-anaknya.
"Papa di mana?"
Nada menelan ludahnya. Di mana Ibnu, ia sendiri tidak tahu. Semalam ia menunggu, tapi laki-laki itu tak kunjung datang.
"Ada." Nada melihat ke arah pintu. Semoga, laki-laki itu segera muncul.
"Kamu ke kamar dulu." Nada membujuk Alfian. Tidak ingin membuat putranya khawatir apalagi tahu peristiwa yang sedang menimpa papanya.
"Papa tidak tahu kepulangan Al, kan"?
"Tentu. Mama merahasiakannya." senyum Nada menular pada Alfian.
"Rindu Mama. Tapi, Al harus tuntaskan dengan Papa dulu." Alfian putranya, tidak akan lama lagi sudah dewasa.
Nada mengekor di belakang. "Al mau ganti baju. Mama mau ikut juga?"
"Mama rindu."
Alfian tergelak. "Miss you to, Mom." Nada mendapatkan pelukan lagi sebelum melepaskan Alfian ke kamar.
"Surprise!!!"
Terdengar suara petasan tepat saat Alfian menutup pintu kamar. Alhasil Nada kembali membuka pintu kamar putranya saat mendengar kegaduhan tersebut.
Mendapati Ibnu berada di kamar sang putra, cukup membuat Nada tenang juga bahagia. Sejenak, ia bisa melihat keadaan laki-laki itu tidak cukup baik, dan menghargai karena sebagai ayah, Ibnu tengah melakukan peran yang baik. Namun ia tidak bisa lama, karena Ray menangis.
Tawa Alfian membahagiakan. Senyum Nada tidak pudar hingga ia tiba di kamar.
Karena Ray sudah bangun, Nada membawa ke kamar Alfian.
"Wajah Papa tidak baik-baik saja."
Di depan kamar, langkah Nada terhenti.
"Benarkah? Seperti orang jatuh cinta?"
Alfian tertawa. "Lebih buruk dari itu."
Tawa ringan Ibnu terdengar. Nada tidak tahu, bagaimana raut Ibnu saat ini. Memilih bersandar di dinding, wanita itu mendengar obrolan ayah dan anak itu.
"Biar Al tebak, Papa dimarahin mama?"
"Tentu tidak. Mana pernah mamamu memarahi Papa. Kamu harus tahu, ngomel dan marah itu tidak sama."
Kali ini Nada mendengar gelakan Alfian. Masih seperti dulu, walaupun kini Alfian akan segera meninggalkan masa remajanya. Kehangatan antara Ibnu dan Alfian selalu menghangatkan hatinya.
"Tapi serius, Pa. Cerita, Al dengerin."
Sudah cukup menunggu, Nada membuka pintu kamar. Ia juga ingin masuk dalam obrolan kedua laki-laki itu, walaupun harus menggantikan tema.
"Mama tidak mengetuk pintu dulu, mengganggu?" tanya Nada ketika Alfian menoleh.
"Tidak. Ray sudah bangun?"
Nada mengangguk. "Bisa kamu?" tanya Nada saat Alfian hendak mengambil Ray dari gendongannya.
Alfian tersenyum. "Bisa Ma." Alfian menimang Ray dengan hati-hati. "Gemesnya. Samaan gantengannya yuk."
Nada tersenyum mendengar ucapan Alfian.
"Mirip Papa," ujar Alfian.
Nada berdeham, seraya melirik Ibnu. Laki-laki itu sama sekali tidak menyapanya.
"Kebangun karena Mas ya dek?"
Senyum Nada selaras dengan keadaan hatinya. Namun tak menutupi akan keingintahuannya pada suasana hati Ibnu.