"Apa yang kalian bicarakan?"
"Mas mengikutiku?"
"Kamu tidak seperti menyembunyikan sesuatu."
Tadi pagi, saat Nada berada di kamar mandi, tanpa sengaja Ibnu melihat notice chat dari Dewi yang masuk ke ponsel Nada. Mengikuti Nada bukan untuk memastikan dengan siapa ia bertemu, tapi mewanti-wanti siapa tahu ibunya mengikuti jejak Dewi.
"Tetap salah menguntit."
"Aku menguntit istriku. Di mana yang salah?"
Nada tidak menanggapi lagi.
"Sekarang mau ke mana?" tanya Ibnu setelah diam beberapa saat. Belum ada tanda-tanda mobil akan bergerak.
"Pulang."
"Belum bisa. Kita tidak tahu apa yang akan dilakukan ibu."
"Tidak selamanya juga aku harus sembunyi darinya."
"Untuk sementara. Bukan selamanya." Ibnu memastikan.
Kepada Alfian, apa yang harus dikatakannya? Lusa, anaknya tiba di Jakarta.
"Aku akan menghadapi ibu."
"Nanti, tunggu waktu yang tepat." Ibnu sendiri harus mematikan ponselnya, karena setiap saat ia mendapat pesan dan panggilan masuk dari Sandra.
Nada tidak ingin pasrah, bukan karena tidak nyaman tinggal di apartemen, melainkan alasan yang harus dikatakan pada Alfian, terlebih apartemen yang mereka tempati hanya memiliki satu kamar.
"Dewi mengatakan tentang ibu?"
"Tidak." Nada juga tidak bertanya tentang ibu Ibnu. Mereka cukup larut dalam kisah yang telah berujung.
"Anak-anak, kenapa tidak memikirkan mereka?"
"Kamu membicarakan tentang kami? Bagaimana dengan kita?"
Tidak ingin masuk dalam pikiran laki-laki itu, Nada menyanggah. "Yang memutuskan mendua, Mas sendiri. Kenapa harus egois?" intonasi nada bicaranya cukup tenang. Pengendalian yang sangat baik, Ibnu mengakuinya.
Tentang mereka belum mulai dibicarakan wanita itu, haruskah mengawali dengan tema pilihan kedua yang telah dilepaskan?
"Belum cukup hukuman untuk kesalahanku? Nyawa, apakah baru sebanding?"
"Aku memikirkan anak-anak, bagaimana dengan Mas?"
"Apa aku terlihat brengsek?"
"Dengan memfasilitasi mereka, Mas mau dianggap baik?"
Ibnu menggeleng. Ia tidak pernah bermimpi mendapat predikat layak setelah menyakiti. Inginnya hanya wanita pertamanya, salah yang akan ditebus setelah melihat pemilik tatapan tenang.
Ia tidak menunggu waktu, melainkan mengisi ruang waktu untuk mengembalikan rasa yang tertutup marah. Sulit atau tidak, akan terus dicobanya. Keberadaan Nada di sisinya, akan membantu mencairkan hati yang telah beku.
"Aku sudah mengajaknya bicara."
"Aku tidak penasaran pada pembelaan Mas." Nada menarik nafas pelan. "Pulanglah."
Kepala wanita itu bersandar, memejamkan mata, bukan menyembuhkan lelah, lebih pada memutuskan kontak yang tak akan selesai dalam satu jam ke depan.
Ia tidak butuh alasan atas perpisahan Ibnu dengan Dewi, sekalipun tahu alasan kuat Ibnu melakukannya.
Menyetir dengan hati yang damai, sesekali Ibnu menoleh ke samping. Ia tidak ingin menganggu, tapi merasa harus mengatakan sesuatu.
"Mari bicara saat sudah sampai nanti. Bukan pembelaan, tapi sebuah kebenaran."