Suasana hati Nada sedang tidak bagus. Setelah mengantar Ray ke yayasan, ia tidak ditunggui. Ibnu langsung pulang dan mengabarinya saat laki-laki itu sudah berada di rumah.
Atas alasan yang sama. Dewi.
Nada harus menunggu taksi melewatkan tawaran Gama yang ingin menumpanginya.
Ketika sore hari, kemarahan Nada semakin menjadi. Ia melihat Dewi mengajar Ray di ruang keluarga mereka. Pemandangan kali ini tidak bisa diterima Nada.
"Ray ikut Mama."
"Ke mana?"
"Kita makan di luar."
Ibnu datang dengan sebuah nampan berisi tiga gelas chocolate blended.
"Mau ke mana?" melihat Ray berbenah, Ibnu ikutan bingung.
Nada tidak menjawab.
"Ray lagi belajar. Kenapa di ajak keluar?"
Sungguh. Jika Nada menjawab, maka bisa dipastikan ketakutan Ibnu akan terjadi. Wajah Dewi tidak ingin dilihatnya.
Muak. Satu kata itu mewakili semuanya.
"Simpan tas, dan ganti bajumu. Tunggu Mama di mobil."
Nada naik ke kamarnya. Amarahnya harus ditahan, sedang luka terus menggerogoti hatinya.
"Ada apa?"
"Aku tidak melarang Mas tidur dengannya, tapi jangan libatkan anakku."
Dingin kalimat Nada, membuat tubuh Ibnu tegang.
"Aku bersabar, tapi jangan menginjak privasiku." Nada menatap tepat pada manik kelam milik Ibnu.
"Aku tidak masalah Mas mau ngapain sama dia, tapi jangan libatkan anakku."
"Dewi tidak memarahi Ray."
"Dia anakku. Bahkan anaknya." kesabaran Nada sedang diuji.
"Kamu menuduhku tidur dengannya?" tatapan kosong Ibnu tidak ingin dilihat wanita itu.
"Bukan urusanku." Nada menarik dalam nafasnya. "Aku minta, jangan libatkan Ray." karena Nada tidak tahu apa yang akan dilakukannya jika sekali lagi ia melihat Ray bersama Nada.
"Aku membiarkan Mas membawa dia ke sini bukan karena mau Mas melakukan apapun yang Mas suka."
Syukur-syukur Nada masih mau menerima Dewi, jika tidak apa yang akan dilakukan Ibnu?
"Melihat Ray dengannya, emosimu bisa sebesar ini?"
"Mas sudah lupa. Mas tidak mengenalku lagi." bibir Nada bergetar saat mengatakan hal itu. Hatinya merasakan luka yang telah menancap berkali-kali di relung hatinya.
"Kembalilah dengan dia. Cari lah cara agar semuanya terasa mudah." Nada tidak tahu lagi bagaimana cara menyadarkan Ibnu agar keluar dari zona yang akan semakin membuat mereka sakit.
Cukup Dewi yang gila. Nada masih ingin hidup normal dan waras menjalani hidup dengan Alfian juga Ray.
Tak apa, jika tidak ada Ibnu di antara mereka. Alfian sudah dewasa. Anaknya akan mengerti keadaan yang menimpa dirinya dengan Ibnu.
"Apa maksudmu?"
"Keluarlah. Hari ini, aku sudah cukup kesal." bukan, Nada sudah kecewa sejak Ray belum lahir hingga saat ini.
Ia mengalah dalam berbagai hal, bukan untuk merasakan kesakitan.
Nada menjaga dua hati orang yang tengah sakit. Namun, ia tidak ingin membiarkan hatinya ikut sakit dan menghancurkan masa depannya.
Kesalahan Sandra adalah awal dari segalanya. Nada-lah orang pertama yang merasakan dampaknya. Tidak cukup Ibnu menikahi Dewi hanya untuk memiliki keturunan, sekarang laki-laki itu juga membawa mantan adik madunya tinggal satu rumah.
Untungnya Nada berada di posisi itu. Tidak bisa dibayangkan jika wanita dengan hati yang lemah. Bisa-bisa ketiganya mengalami gangguan jiwa.
Pilihannya meneruskan karir sudah tepat. Kesehariannya tidak hanya melihat dua orang yang akan menguras kewarasannya.
"Kamu mau ke mana?"
"Ada tidaknya aku, tidak ada pengaruhnya."
Nada keluar dari kamar, meninggalkan Ibnu sendiri.
Ia tidak mengharap Ibnu mengejar atau menahannya. Tidak lagi. Bersyukur saja, melihat laki-laki masih mengenal nasi.
"Siapkan perlengkapan Ray. Kita ketemu di yayasan besok."
Susi mengangguk, ia melepaskan kepergian Nada dan Ray tanpa bertanya apapun. Keanehan mulai terasa, namun ia tidak punya hak untuk melanjutkan rasa penasarannya.
"Mana mereka?"
Susi melihat ibnu keluar dengan nafas terengah.
"Sudah pergi."
Ibnu meraup wajahnya. Ia masuk lagi ke dalam untuk menemui Dewi.
"Bolehkan aku pergi sebentar?"
Ibnu tidak mendapatkan jawaban, hanya tatapan mata Dewi yang terasa asing.
"Tidak akan lama?"
"Mas mau makan dengan adik Mas tanpa mengajakku? Mas malu membawaku?"
Ibnu menggeleng.
"Nada sudah dewasa. Kenapa tidak carikan saja laki-laki untuknya? Aku tahu Mas mengkhawatirkan dia."
Ibnu menelan ludahnya. Bagaimana bisa ia mengajak Dewi, sedangkan dia ingin berbicara dengan nada?
"Tidak selamanya juga kita akan tinggal bersama dengannya."
Bisa ditangkap oleh Ibnu, jika Dewi tidak menyukai Nada.
"Dia tidak sopan. Berbicara saja, tidak pernah melihatku."
Dewi memutarbalikkan kursi rodanya.
Tanpa melihat Ibnu, wanita itu mengatakan hal yang meruntuhkan asa laki-laki itu. Asa yang sudah tidak terbentuk sejak lama.
"Aku yang harus Mas khawatirkan. Bukan dia yang memiliki hidup sempurna."
Ingatan Ibnu kembali pada masa kelam yang terkuak enam tahun yang silam. Seketika itu, rahangnya mengeras.
Aura dingin laki-laki itu membius kesadarannya.
Seandainya Nada tidak menyembunyikan masa lalu itu, hidupnya akan baik-baik saja. Seandainya Nada memberitahukan hal yang sebenarnya, Sandra dan anak-anaknya tidak akan mati. Yang lebih menyedihkan, Dewi. Wanita sebatang kara itu tidak akan gila seperti ini.
Dalam hitungan menit, Ibnu bisa melupakan pengorbanan yang dilakukan oleh Nada. Hanya dua baris kalimat dari Dewi, laki-laki itu melupakan fakta yang selama ini dipendam oleh Nada Seroja. Yaitu sakit dalam kekecewaan yang teramat besar.
Ibnu tidak sadar. Jika pikirannya tengah mematikan rasa seorang wanita yang sedang ditatap penuh kagum dari jarak jauh oleh seorang laki-laki yang tak lain adalah Gama Gandara.
Wanita itu sedang duduk di atap klinik, bersama Ray. Mereka menikmati Lava Cake bikinan salah satu perawat yang bekerja di kliniknya.
Dr. Deddy bercerita banyak hal.
Rupanya, tentangmu membangunkan sensasi gila dariku.Nada tidak membalas pesan tersebut. Ia tahu siapa pemilik pesan itu.
Kartu namaku masih kau simpan. Aku akan meluangkan waktu, kalau bisa sore ini. Aku ingin mencium harum rambutmu.
Mata Nada seketika awas. Ia megedarkan pandangan. Di satu titik, fokusnya terhenti.
Tidak perlu membuka kaca mobil, Nada tahu siapa yang duduk di dalam sana.
Rambutmu mengundangku ke sana.
Nada mematikan ponselnya. Cukup dua orang dengan gangguan jiwa yang tinggal bersamanya. Wanita itu tidak ingin menambah daftar penyakit yang bisa membuatnya ikut gila.