20

2.1K 227 14
                                    

Degup haru, masih melanda Dewi. Setelah satu tahun lebih, ia kembali bertemu dengan mantan kakak madunya.

Tiga menit lebih awal, ia tiba di Hilto Rest. Cukup jauh dari rumahnya, namun tak memundurkan niatnya. Setelah memastikan nomor pemilik pesan tadi malam, Dewi langsung menghubungi dan menanyakan waktu yang tepat.

"Bagaimana kabar Mba?"

"Kabar kita akan sama-sama membaik."

Lihatlah, bagaimana Dewi tidak salut melihat wanita itu.

Nada tahu, banyak hal yang ingin ditanyakan Dewi, sama seperti dirinya.

"Boleh aku menggendongnya?"

Tentu. Nada menyerahkan Rayyan pada Dewi. Lantas mulai memesan makan siang.

Nada tidak harus tahu bagaimana ekspresi Dewi melihat anaknya. Ia tidak mendendam pada wanita itu. Tidak ada alasan untuk melakukan itu.

"Aku mendengar sekilas, apakah itu benar?"

Raut tidak enak dimengerti oleh Nada. "Kaitkan saja, bila memang itu benar."

Kalimat Nada terlalu dalam. Dewi harus mencerna sebelum menjawabnya.

"Aku tidak bertanya padanya. Hubungan kami belum sebaik dugaanmu."

Ah. Dewi mengerti. "Sebagai wanita yang dicintai mas Ibnu, wajar jika Mba menjadi salah satu faktor." penentu sikap Ibnu, adalah wanita itu. Dewi sudah berlapang dada.

Nada masih menunggu luahan hati mantan adik madunya.

"Keputusan mas Ibnu memang menyakitkan, tapi itulah yang terbaik."

Dewi menarik nafas dalam. Ia tidak ingin mengenang, hanya mengatakan yang sudah dilewati.

"Tuhan sudah menjodohkan kami dalam waktu lima tahun itu, aku sudah bersyukur."

Nada memahami kerendahan hati Dewi.

"Lima tahun itu pula, Mba merasakan sakit."

Nada masih mendengar dengan tenang. Tak perlu berusaha mengerti kalimat Dewi, karena ia pernah berada di posisi itu. Bukan ditinggal, tapi dikhianati.

"Mas Ibnu mengambil keputusan sepihak." itu sebuah pernyataan yang butuh penolakan. Bukan egois. Nada tahu betul, Ibnu akan berbicara sebelum melakukan sesuatu. Terlepas tidak ada tanggapan.

Sama seperti dulu, ketika laki-laki itu mengatakan akan menikahi Dewi karena permintaan ibunya. Tidak ada jawaban berarti yang diberikan oleh Nada. "Lakukan, kalau menurut ibu baik."

Cukup sebaris kalimat itu.

"Kami sudah berbicara. Namun tak pernah ada kata selesai dariku."

"Wajar. Kamu mempertahankan hakmu."

Dewi menggeleng. "Mungkin langkahku, sudah salah dari awal."

Nada tidak bisa menolak pemikiran yang diluahkan Dewi. Menghargai setiap logika yang dibenarkan oleh wanita itu.

"Anak-anak, bagaimana dengan mereka?"

"Aku akan hidup untuk mereka. Menemani masa depannya."

"Bagaimanapun akhir kisahnya, aku tak pernah ikut campur," kata Nada masih dengan wajah datarnya.

Dewi percaya jika ini sebuah takdir. Berada dalam lingkup mahligai Nada dan Ibnu adalah wasilah jodoh sementara.

"Satu hal." Nada mengatakan bukan untuk mendapat konfirmasi, apalagi penjelasan. Murni karena adanya anak-anak di antara Ibnu dan Dewi.

Istri pertama mas IbnuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang