Bagian 2 : Hanya Rumah Biasa

213 37 5
                                    

Pada zaman dahulu kala, jauh sebelum Raja Taejo berada di puncak paling tinggi, ada sebuah makam milik penyihir yang konon katanya dimakamkan dalam keadaan hidup. Ada larangan yang beredar di masyarakat bahwa tiap bulan purnama, penyihir dalam makam itu akan berusaha keluar untuk mengisi perutnya. Penduduk diminta untuk tetap berada di dalam rumah lalu memadamkan seluruh pelita tiap kali purnama muncul.

Satu dua orang terpedaya sementara beberapa yang lain tidak percaya. Mereka yang keluar akan menemukan berbagai hal yang menarik perhatian. Mulai dari bongkahan emas, hingga wanita cantik. Menggoda hingga kehilangan akal sehat. Satu hal yang terjadi pada mereka yang menemukan harta berharga itu. Menghilang. Atau lebih tepatnya menjadi santapan sang penyihir.

Malam itu bulan purnama. Sayang sekali badai menutup kilau cahaya indahnya. Sinar perak menawan bersembunyi di balik awan tebal yang sesekali menembakkan kilat menggelegar. Malam masih akan sangat panjang. Dan keindahan itu tak akan terlihat malam ini.

"Kau makan lahap sekali!" Wanita pemilik rumah terkikik kecil melihat Si Yeon menyantap makanan yang dihidangkannya. Di luar hujan lebat, dan ia mempersilahkan Si Yeon untuk berteduh di dalam rumah megahnya yang hangat.

Itu adalah sebuah ruang makan besar dengan meja makan kayu berukiran kuno yang memiliki deretan kursi. Berbagai makanan terhidang di depan Si Yeon sementara pemilik rumah hanya menemaninya makan. Mereka duduk berhadapan di ujung meja. Badai yang masih setia menerjang di luar tak lagi terasa kehadirannya seolah tersapu aroma makanan rumahan serta tarian api kecil dari lilin-lilin yang menghiasi meja makan.

"Ghamsahamnida!" Untuk yang kesekian kalinya Si Yeon membungkuk berterima kasih karena tak hanya diberi tempat berteduh, tapi juga makanan enak. Dengan mulut penuh ia mengucapkan rasa syukurnya pada wanita muda itu. "Anda begitu baik padaku."

"Bukan anda," Wanita itu menggeleng tidak setuju. "Namaku SuA. Kau bisa memanggilku SuA."

"SuA? Nama yang unik," batin Si Yeon. Kemudian ia mengangguk setuju. "Kau begitu baik SuA-ssi."

SuA menggeleng sekali lagi. "Tidak pakai 'ssi' hanya SuA. Atau jika kau tetap ingin menambahkan sesuatu, kau bisa memanggilku dengan SuA aggashi. Mengerti?"

"Aggashi? ppft!" Si Yeon tidak bisa menahan rasa geli di perutnya mendengar kata itu disebut. SuA memang terlihat anggun dan berkelas. Namun, tetap saja menyebutnya aggashi sedikit berlebihan. "Bagaimana jika eonni saja? kau sepertinya lebih tua dariku."

"Lebih tua?" SuA menyentuh wajahnya dengan ekspresi kecewa. "Bagaimana kau mengetahuinya? Apa terlihat jelas?"

Si Yeon memberi jawaban dengan anggukan karena kali ini mulutnya terlalu penuh untuk mengeluarkan suara apapun.

"Apa benar terlihat tua?" SuA bergumam bicara pada dirinya sendiri. Begitu rendah dan pelan hingga Si Yeon yang berada di seberang meja tak bisa mendengar dengan jelas. "Mungkinkah karena kekurangan kolagen?"

SuA mendorong semangkuk sup tulang ke dekat Si Yeon.

"Apa ini?" Si Yeon mengernyit karena seingatnya tak ada sup di atas meja sejak tadi.

"Kolagen," jawab SuA. Ia menopang dagu menatap Si Yeon yang sedang terbengong lalu menjilati bibirnya sendiri. "Pasti sangat enak."

"Benarkah?" Si Yeon melupakan kemunculan sup yang misterius, lalu menarik mangkuk itu dengan suka cita kemudian menyeruput isinya.

"Sayangnya kurus sekali," Gumam SuA lagi. Kali ini cukup untuk didengar oleh Si Yeon meski agak samar.

"Ne?"

"Jika kau sedikit lebih berisi, maka itu akan sangat sempurna." Lanjut SuA. "Berapa usiamu? Sudah menikah atau belum?"

Mau tidak mau Si Yeon tertawa mendengar pertanyaan aneh itu. "Eonni, kau blak-blakan sekali. Apa kau menyukaiku?"

The Witch's WitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang