Bagian 22 : Benang Merah

135 27 13
                                    

Si Yeon kembali larut malam dari kampusnya. Ia bertekad untuk tak lagi melalaikan kewajiban kuliahnya. Ini tak sekadar tentang harapan kedua orangtuanya lagi. Ia juga memiliki impian, dan rasanya memalukan jika ia menjadikan impiannya sebagai alasan untuk tidak menunaikan kewajibannya.

Ga Hyeon langsung pergi ke kamarnya dengan berjalan seperti zombie. Ia kelelahan karena terlalu antusias dengan hal-hal yang baru ditemuinya. Gadis itu memang mengikuti Si Yeon seharian. Namun, bagi Si Yeon ia tidak merepotkan. Bahkan ketika ia harus mengawasi gadis itu sepanjang waktu, atau menjawab pertanyaan-pertanyaan tak masuk akalnya. Ia tidak tahu kenapa, akan tetapi keberadaan Ga Hyeon secara ajaib membuatnya lebih bersemangat untuk segera menyelesaikan kuliahnya. Ia ingin memiliki sesuatu untuk dibanggakan di depan Ga Hyeon. Semacam perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan.

SuA telah menunggu di dalam kamarnya ketika Si Yeon kembali. Ia tersenyum lebar menyambut Si Yeon yang sudah entah sejak kapan ditunggunya.

"Kau disini?" Si Yeon meletakkan tasnya di atas meja tulis kemudian menghampiri SuA yang sedang berbaring menyamping si ranjangnya.

"Kemarilah!" SuA menepuk sisi kosong sebagai tanda agar Si Yeon mengisinya. "Kita harus melanjutkan yang kemarin."

Sebenarnya Si Yeon merasa benar-benar lelah karena aktifitasnya seharian ini. Seluruh persendiannya terasa mau copot. Tapi, karena itu adalah SuA, ia malah tertawa menanggapinya. "Melanjutkan apa?"

"Yang kemarin!" SuA mengedipkan sebelah matanya pada Si Yeon.

"Aku baru saja kembali," Si Yeon hanya berdiri di sisi ranjang, tak kelihatan terganggu sedikitpun dengan kehadiran SuA disana. "Aku harus mandi karena tubuhku bau keringat."

"Tidak masalah. Kemarilah!" SuA bangkit dan bertumpu pada lututnya sementara kedua tangannya terulur untuk menyambut Si Yeon. "Aku suka bau keringatmu."

Si Yeon meraih tangan SuA kemudian mengayunkannya ringan tanpa beranjak sedikitpun pada tempat ia berdiri. "Tapi aku yang terganggu dengan baunya. Lagipula, juga terasa gatal."

"Kau mau mandi?" SuA berpegangan pada tangan Si Yeon ketika ia merosot turun dari tempat tidur. "Aku ikut!"

Si Yeon kembali tergelak. "Aku hanya pergi mandi. Bukan ke taman bermain."

"Jika bersamamu," SuA mendekat satu langkah untuk mengusap pipi Si Yeon dengan punggung tangannya. "Kemanapun akan terasa seperti taman bermain."

"Kau pandai bicara," Si Yeon mendudukkan SuA kembali ke atas tempat tidur. "Tunggu saja disini!"

"Eung," SuA mengangguk seperti anak kecil yang patuh. "Jika lama, aku akan mendobrak masuk."

"Aku tidak akan lama," Si Yeon memberikan senyumannya sebelum ia meninggalkan gadis itu di sana.

SuA kembali menunggu. Ini bukan apa-apa jika harus menunggu lima atau lima belas menit lagi. Ia telah menunggu nyaris sepanjang hidupnya.



"Dia akan datang," ujarnya pada diri sendiri. Ia berdiri di selasar yang menghadap langsung ke jalanan. Lalu lalang yang ramai tak mampu melepaskannya dari rasa sepi. Hanya satu yang ia tunggu. Seseorang yang telah berjanji untuk kembali ke tempat itu.

Musim berganti dengan cepat. Ia telah berada disana selama tahun-tahun panjang yang tak bisa lagi ia hitung dengan tepat. Pegunungan yang berganti menjadi pasar, dan kemudian berubah dengan cepat berhiaskan gedung pencakar langit. Hanya dirinya yang masih bergeming tak kasat mata akibat beberapa mantra yang sengaja dipasangnya untuk melindungi diri dari kunjungan orang iseng.

Bulan purnama kembali datang untuk yang kesekian kalinya. Sumber kekuatannya. Ia selalu merasa lebih segar dan kuat ketika bulan yang bulat sempurna bertengger di cakrawala. Menerangi setiap aliran darahnya dengan energi mistis tak terhingga. Membuatnya mampu merasakan keberadaan. Mencium aroma lebih jauh.

The Witch's WitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang