Ada suara gaduh dari luar rumah. Zora, yang sedang mengedit konten puisi di kamarnya, dapat mendengar suara pintu rumah dibuka. Pasti oleh Mama. Suaranya yang ramah terdengar mempersilakan beberapa tamu untuk duduk di ruang tengah, selagi mereka tertawa dan saling menyapa. Zora tetap di meja belajarnya, menyelesaikan apa yang sedang ia kerjakan, lalu menyimpan file itu. Sebelum ia mengunggah ke akun instagramnya, dibacanya ulang isi puisi tersebut:
Aku selalu berusaha, 'tuk
Memperbaiki semuanya
Mencoba berdiri, bangkit sendiri
Tapi yang ada, kenyataan hanya lebih menyiksa.
Aku terlempar jauh,
Tersungkur jatuh,
Dan terpuruk kaku...
Kembali pada tepi dunia yang sudah menghukum duluan
Sekarang, bisa apa?
Tragis memang, tapi indah. Itulah yang ada di pikiran Zora untuk memuji hasil permainan katanya. Itulah yang selalu Zora katakan pada dirinya sendiri, bahwa ia adalah penulis yang handal, yang bisa memberi emosi pada setiap bait puisi yang ia tulis. Tapi, Zora sendiri sadar, bahwa puisi-puisi itu hanyalah bentuk kecil dari wujud berantakan yang dimiliki pikirannya. Puisi-puisi itu adalah ekspresi paling mudah untuk menjelaskan bagaimana rapuhnya hati dan rasa yang ada dalam batin Zora. Puisi-puisi itu hanya topeng, yang membuat orang lain membentuk sudut pandang mereka, guna menutupi gelapnya kenyataan yang Zora tulis. Tentu, Zora selalu jujur akan apa yang ia tulis. Tapi ia tak pernah jujur akan asal muasal kata-kata menyedihkan itu. Yang ia tunjukkan pada dunia adalah Zora yang periang dan berbahagia, walau saat ia menutup pintu dan jendelanya, kekosongan akan segera berhambur masuk, menyerangnya, hingga ia babak belur, dan memaksa diri untuk bertingkah seakan ia baik-baik saja di esok hari.
Tombol unggah sudah Zora tekan. Tak butuh waktu lama bagi para pengikut akunnya untuk memberi likes dan comment padanya. Zora memperhatikan bar notifikasi di mana nama-nama orang yang sama sekali tak ia kenal muncul dan seolah berlomba untuk menyukai posting-an Zora. Banyaknya notifikasi memanglah memusingkan untuk dilihat, lagi pula Zora tidaklah mengejar jumlah likes dari netizen, karena yang lebih menyenangkan untuk didapat adalah berbagai tanggapan dan perspektif dari para audiens mengenai tulisan-tulisannya.
Kriiieeet.
Pintu kamar Zora terbuka. Mama telah ada di sana duluan saat ia menengok, tersenyum hangat pada Zora yang menatapnya dengan tanda tanya.
"Zora, keluar sebentar, yuk, Nak. Ada Tante Surya," Mama melambaikan sebelah tangannya, memberi aba-aba untuk menyuruh Zora ikut keluar kamar. Dengan malas, Zora beranjak dari mejanya dan mengikuti langkah Mama.
"Anakku... Zora!"
Tante Surya langsung menyambar Zora begitu ia sampai di hadapannya. Ia memeluk Zora sangat erat, mengekspresikan rindu yang sangat berat. Zora kaget saat menerima pelukan itu. Wahyu, sepupu Zora yang merupakan anak dari Tante Surya duduk di sofa ruang tengah. Ia melambaikan tangannya ke arah Zora, yang langsung dibalas serupa.
"Sombong kamu, ya! Tinggal satu kota sama Tante tapi nggak pernah mampir ke rumah!"
Zora tersenyum, "Apa kabar Tante?"
"Baik... Kamu apa kabar? Gimana progres buku kamu? Sudah rampung?"
"Belum, Tante. Pusing mikir revisinya. Zora maunya yang perfect, biar nggak kalah bagus dari buku yang pertama."

KAMU SEDANG MEMBACA
ZORA | ✓
Aktuelle Literatur[Pemenang Wattys Award 2020 kategori New Adult] COMPLETED ✓ Namanya Zora. Dapat berarti fajar, atau, matahari yang terbit dengan indah. Tapi sayang, hidupnya tak seindah namanya. Kehilangan hebat di masa lalu merenggut terang dari dunia Zora, membua...