#19 Jarum Suntik

1.4K 238 5
                                        

"Sudah berapa lama sakit kepala?"

Ayah, yang sedari tadi pikirannya terusik, langsung mengalihkan pandangannya pada dokter yang duduk di hadapannya.

"Beberapa bulan terakhir ini, Dok."

Dokter paruh baya itu mengangguk, lalu menuliskan sesuatu di kertas. Ayah memperhatikan gerakan tangan sang dokter sembari harap-harap cemas dalam hatinya. Beberapa bulan terakhir ini, kesehatan Ayah menurun karena banyaknya pekerjaan yang harus dilakukannya, tanpa ia imbangi dengan makan yang teratur dan olahraga. Juga, jam tidur Ayah sangat-sangat berkurang saat di waktunya beristirahat ia gunakan untuk memikirkan berbagai khayalan buruk tentang masa depan.

"Pak Wina jangan terlalu banyak pikiran, stres juga bisa memengaruhi kekebalan imun tubuh. Ini saya suntik vitamin, ya. Terus saya kasih resep untuk migrain dan demamnya. Bisa ditebus di apotek depan."

Ayah terperanjat melihat dokter itu menaruh sebuah jarum suntik dan sebuah ampul injeksi berisi vitamin yang dibicarakannya. Seketika, ia mengingat ucapan Zora di pantai beberapa bulan yang lalu, tentang penyakit mematikan yang disebabkan oleh jarum suntik yang tidak steril. Seketika, jantung Ayah berdegup lebih kencang, ia mulai panik.

"Harus disuntik, Dok?" tanya Ayah gelagapan.

"Suntik vitamin. Iya."

"Harus disuntik?"

"Bapak takut jarum suntik?"

Rasa takut menjalar pesat dalam diri Ayah, jarum suntik yang ada di genggaman sang dokter seakan meledek ketakutannya.

"Nggak, nggak. Silakan, Dok."

Dokter itu menatap Ayah dengan aneh dari balik kacamata tipisnya. Dalam batinnya pasti bertanya-tanya kenapa jarum suntik terlihat menakutkan di mata pasien yang merupakan pria dewasa. Ia segera menarik kembali masker medisnya untuk menutupi kumis tebal dan hidungnya, lalu segera menginjeksi lengan atas milik Ayah.

Bak mati rasa, bahkan tusukan jarum itu tak dapat Ayah rasakan karena pikirannya yang berangsur kacau. Ia tak dapat mengatakan apa-apa lagi. Ia pasrah.

***

"Halo, Zora sayang..."

Malam kembali bertamu, seakan iri akan warna gulita dalam isi pikiran Ayah. Ayah menggenggam teleponnya dengan tak pasti, tangannya yang satu lagi sibuk mengarahkan mouse di depan komputernya.

"Ayah!" pekik Zora. Namun pekikannya tak terdengar riang seperti biasanya.

"Zo..."

Gerakan mouse Ayah berhenti. Ayah menatap kaku layar komputernya yang menampilkan sebuah artikel. Ia mencoba lagi mengatur nafasnya saat membaca kata "tetanus" pada judul artikel itu.

"Zora lagi apa?" Ayah mencoba basa-basi, padahal pikirannya sibuk membaca isi artikel tersebut.

"Habis pulang sekolah."

"Kok malam pulangnya?"

"Tadi ada pramuka."

"Oh..."

Jauh di sisi lain, Zora belum menjawab. Ayah tak menggubris kebisuan putrinya, jantungnya berdebar ciut membaca kata demi kata yang terpampang jelas di layar komputernya.

"Ayah, aku kangen. Kapan Ayah sama Mama pulang?" tanya Zora akhirnya.

"Sabar, ya, Nak. Kerjaan di sini masih banyak."

ZORA | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang