Dinding kosong di ruang tengah sudah separuh terisi oleh frame-frame foto. Ayah dan Kakek sibuk memasang bingkai demi bingkai dengan teratur. Mereka bekerja bersama sejak pagi hari. Suara pukulan palu di tembok menghiasi lengangnya rumah.
"Pak, nggak gitu masangnya. Ukuran framenya beda itu..." ucap Ayah seraya menunjuk bingkai foto yang dipegang Kakek.
"Ini di sini saja, sudah. Bagus di sini," bantah Kakek.
"Nggak gitu. Harus sejajar ukurannya."
"Dari tadi pagi belum selesai, loh, Win..."
"Kan biar enak dilihat..."
Nenek tertawa melihat perdebatan kecil antara anak dan suaminya. Sembari mengunyah pisang gorengnya, ia berjalan menuju kamar Zora. Gelak tawa terdengar dari dalam sana. Saat Nenek membuka korden kamar, Mama sedang mengepang rambut panjang Zora yang sedang fokus membaca buku di depannya.
"Jadi gitu ceritanya... Dari balita kamu nggak pernah bisa manggil Mama dengan sebutan "Bunda", kalau diajarin bilang "Bunda", pasti tetap ngomong "Mamamama"" ungkap Mama.
"Kok Zora nggak pernah tahu?"
"Terkadang kamu orangnya bisa sangat pendiam, sama kayak ayahmu. Jarang buat bertanya. Terkadang."
Baru saja Nenek duduk di atas kasur untuk bergabung dengan mereka, tiba-tiba ada suara ketukan dan ucapan salam dari pintu depan rumah. Zora yang mendengar itu langsung bangkit dari tempat duduknya. Ia menerobos Nenek yang sudah berniat untuk berdiri.
"Biar aku aja, Nek!"
Zora berlari kecil ke arah pintu. Saat ia membukanya, rasa bingung ikut terbawa ke dalam rumah setelah melihat sosok yang berdiri di sana. Zora terperanjat menatap orang itu; Om Edi, ayah dari Ricki yang baru beberapa waktu lalu Zora ingat nama aslinya. Om Edi lantas tersenyum kepada Zora.
"Gek Zora... Ayahnya ada?"
Zora masih tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia mengangguk pelan, kemudian lari memanggil ayahnya. Ayah yang masih sibuk dengan dinding fotonya langsung menghampiri sang tamu. Mempersilakannya duduk di teras rumah.
Satu jam berlalu, dan pembicaraan antara Ayah dan Om Edi belumlah usai. Zora yang sedari tadi berusaha menguping dari ruang tengah tak dapat menangkap obrolan apa pun karena berisiknya suara palu Kakek. Percakapan itu terlihat sangat serius. Tak ada gelak tawa yang biasanya mereka gaungkan saat mereka berkumpul bersama. Ayah dan Om Edi memang berteman sejak dulu. Rasa ingin tahu di benak Zora akan isi percakapan mereka semakin bertambah besar. Ia sudah tak sabar. Ia merasa ada sesuatu yang salah, dan hal itu berhubungan dengan temannya, Ricki. Tak lama, Ayah dan Om Edi bangkit dari kursi mereka. Ayah terlihat menepuk pundak kawannya itu, lalu mereka bersalaman. Segera setelah itu, Om Edi pergi meninggalkan rumah.
"Edi ngapain ke sini, Mas?" Mama langsung bertanya sesaat Ayah masuk ke dalam rumah. Zora bernafas lega, setidaknya ada orang yang mewakili keingintahuannya.
"Tanya-tanya soal biaya sewa rumah di Ubud. Kayaknya mereka sekeluarga mau pindah. Istrinya nggak mau tinggal di sini, penghasilannya nggak cukup," Ayah duduk di samping Zora di depan TV, "Edi cerita kalau mereka bertengkar terus setiap hari. Malu jadi bahan omongan orang lain."
"Mas!"
Mama melotot ke arah Ayah yang terlalu bersikap terang-terangan di hadapan Zora. Ia merasa anaknya tak harus mendengar kejelasan itu. Mama lalu melirik Zora yang terlihat sangat fokus mendengar percakapan mereka dari depan TV. Sial, Zora ketahuan. Ia baru sadar kalau di hadapan Mama, ia masih seorang bocah sepuluh tahun yang belum boleh tahu kebanyakan obrolan orang dewasa.

KAMU SEDANG MEMBACA
ZORA | ✓
Fiksi Umum[Pemenang Wattys Award 2020 kategori New Adult] COMPLETED ✓ Namanya Zora. Dapat berarti fajar, atau, matahari yang terbit dengan indah. Tapi sayang, hidupnya tak seindah namanya. Kehilangan hebat di masa lalu merenggut terang dari dunia Zora, membua...