#11 Luka Gores

1.7K 297 20
                                    

Zora menatap mobil APV silver di belakang Ayah. Mobil yang selalu jadi kebanggaan baginya. Ada perasaan gelisah tak menentu berlangsung dalam lubuk hati Zora. Memori tentang hal yang berhubungan dengan mobil itu langsung mendatangkan sesak baginya.

"Ayah sama Mama balik ke Ubud dulu, ya. Kita harus kerja lagi."

Pandangan Zora beralih ke arah wajah ayahnya.

"Ayah jangan kebanyakan duduk, ya!" teriak Zora. Ayah yang membungkuk tepat di depan Zora langsung tertawa. Menganggap ucapan putrinya adalah sebuah lelucon.

"Terus gimana Ayah nyetirnya? Berdiri?"

Ayah bangun dari tempatnya, lalu mengacak rambut Zora. Mama yang ada di belakangnya maju dan memeluk Zora erat. Mengatakan beberapa pesan pada Zora untuk menjadi anak yang selalu bersikap baik pada orang lain. Dulunya, memang pesan-pesan itu selalu Mama ucapkan pada Zora, sehingga ia selalu mengingatnya hingga dewasa. Setelah mereka berpamitan pada semua orang yang ada di rumah, mereka segera masuk ke dalam mobil.

Zora menonton laju pelan mobil itu. Ia tetap berdiri di tempatnya sampai bagian belakang mobil tak terlihat lagi dari bidikan matanya. Rasa sedih langsung berhambur masuk. Ayah dan Mama akan kembali lagi dalam beberapa minggu yang akan datang. Walau ia tahu kedua orang tuanya akan datang menjenguknya setiap dua sampai empat minggu sekali, Zora merasa waktunya berkumpul bersama keluarga kecilnya sangatlah sebentar. Namun, jiwa Zora dewasa dapat mengerti akan hal itu. Buktinya ia tak merengek dan menangis pilu di hadapan orang tuanya sesaat sebelum mereka pamit pergi, seperti yang biasa dilakukannya sewaktu kecil. Ia akan mencoba untuk bersikap sedewasa mungkin karena akhirnya ia mengerti semua perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan Ayah dan Mama, untuk dirinya.

"Zozo!"

Di belakang Zora, seorang bocah perempuan berdiri di atas sepeda kayuhnya. Anak itu menggunakan dres bermotif bunga dan sebuah bando telinga kucing di kepalanya. Bando yang sempat menjadi trend kembali saat Zora duduk di bangku SMA. Zora berusaha mengingat-ingat siapakah pemilik wajah tembam yang ada di hadapannya sekarang. Hingga ia menelaah alis tebal yang dimiliki anak itu, sebuah nama langsung muncul dalam ingatannya.

"Intan???"

"Ayo main! Mentang-mentang liburan jadi nggak pernah main lagi!"

Zora berjalan mendekati Intan, lalu memeluknya dengan erat, "Apa kabar, kamu? Aku lupa kalau pas kecil kamu gendutnya segini!"

Intan bungkam mendengar ucapan Zora. Berusaha untuk memproses apa arti dari kata-kata temannya itu. Dirinya dipenuhi keheranan. Sesaat Zora melepas pelukannya dan menatap Intan dengan riang, rasa bingung di hati Intan semakin berkembang biak. Zora bertingkah seperti seseorang yang telah lama tak bertemu dengan temannya. Padahal yang Intan ingat, baru dua minggu setelah libur akhir semester ia tak melihat Zora.

"Mau main ke mana? Sebentar aku ambil sepeda dulu!"

Zora segera masuk ke dalam rumah dan mengambil sepedanya, lalu berpamitan dengan Kakek yang kebetulan sedang duduk di teras. Zora dan Intan mengayuh sepeda masing-masing dengan cepat. Mereka berlomba untuk memimpin jalur. Hanya tawa dan kegembiraan yang terasa. Rasa lelah pun tak dapat menampilkan dirinya. Seperti ini bahagianya hidup sebagai anak kecil, yang tak tahu apa-apa pada masanya. Tak perlu peduli soal keputusan dalam hidup selama mereka mendapat apa pun yang mereka inginkan tanpa harus bekerja keras untuk itu. Zora sangat merindukan hidup seperti ini, berada pada raga dan masa kecil di mana ia tak butuh banyak alasan dan konsep untuk bersuka ria. Bahkan dengan hal yang sederhana, bahagia dapat tercipta. Sesederhana mengayuh sepeda dengan temannya di jalan setapak persawahan nan hijau, ditemani hembusan angin yang seakan menuntun arah mereka.

ZORA | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang