#3 Mengalah

5.1K 493 20
                                    

Kertas-kertas di hadapan Zora membuatnya muak. Ia terus membolak-balikan lembar demi lembar, mencoret beberapa kalimat, mengganti sejumlah kata. Hal itu terus berulang dan berulang. Tak ada yang cukup baik baginya, dan sekarang ia mengklaim dirinya sebagai penulis paling buruk di muka bumi. Tapi, Zora harus mengirimkan naskah yang sudah ia revisi ke editor di pertengahan bulan depan, yang berarti, tepat dua minggu dari tanggal di mana ia merasa dapat membuang seluruh kertas-kertas tersebut, lalu menulis ulang setiap bagiannya.

Rasa sakit di kepala Zora terasa semakin menjadi. Kacamata dengan lensa anti radiasi yang disarankan oleh Raya sama sekali tidak membantu. Ia lelah untuk menemui dokter yang akan mengatakan hal yang sama persis, tentang otot matanya yang tegang, larangan menggunakan komputer atau gadget apa pun untuk sementara waktu, obat-obat sakit kelapa yang tak bisa ia telan seluruhnya... Semuanya melelahkan. Ditambah lagi, ini adalah semester terakhir dalam studinya dan Zora sama sekali belum mengerjakan apa pun untuk tugas akhirnya. Bahkan memikirkannya saja belum sempat. Untuk menambahnya menjadi lebih buruk, pesan-pesan maupun e-mail yang dikirimkan oleh pihak penerbit guna menanyakan kejelasan proses naskah, membuat Zora makin tertekan. Apa lagi? Pacarnya yang sedang tertarik dengan perempuan lain, untuk yang kesekian kalinya? Acara memoriam sepuluh tahun meninggalnya Ayah yang Zora tak mau setujui? Tak mungkin akan ada hal yang lebih buruk lagi, kan? Karena semua ini sudah cukup kasar untuk melukai hatinya yang rapuh.

Lihat, sekarang betapa berantakannya hidup terasa. Zora membayangkan bagaimana jika sebuah meteor tiba-tiba jatuh ke bumi di siang hari lalu menghantam kafe dua puluh empat jam ini dan tepat mengenai kepalanya, supaya ia dapat kehilangan ingatannya dan melupakan segalanya? Atau, setidaknya, pura-pura lupa kalau saja amnesia tidak menimpanya. Ia akan berterima kasih akan hal itu.

Tapi, tidak, tidak. Hidupnya sudah cukup baik. Siapa sangka gadis berumur dua puluh satu tahun dapat menghasilkan uangnya sendiri lewat sosial media? Dan menulis buku pertamanya yang masuk daftar best seller di banyak toko buku secara serentak? Siapa yang sangka gadis dengan nama yang cukup tak lazim, "Zora" dapat menyihir banyak orang lewat permainan kata yang ia tulis? Zora hanya cukup untuk menyadari bahwa hidupnya sudah cukup baik. Belum, dan mungkin tak akan ada hidup yang sempurna, akan selalu ada ruang kosong yang berhak mengisi guna menyamaratakan keadaan manusia. Akan tetap terjadi masalah dan masalah mencekik rasa lega yang sementara, merusak momen berbahagia. Dan pada akhirnya, setiap manusia hanya perlu keberanian untuk menerima dan melewatinya, lalu sesekali, melawan. Hidup akan lebih berarti jika warna-warna itu tetap ada untuk menghiasinya, walau warna tergelap sekalipun.

Zora memejamkan kedua matanya, lalu menarik nafas panjang. Setelah ia membuka kembali matanya, ia kembali lagi pada kenyataan yang sedang terjadi. Duduk sendiri di sebuah meja di kedai kopi langganannya, dengan es lemon tea dan piring pasta yang sudah kosong. Suasana kafe yang ia datangi sangatlah ramai pada hari itu, berbeda dengan hatinya yang merasa sepi.

"Kak Zora, piringnya boleh aku ambil?"

Lamunan Zora pecah. Di hadapannya sudah berdiri Ima, waitress yang kerap kali menyapa Zora ketika ia mengunjungi tempat itu. Zora sampai hafal nama dan wajahnya karena memang Ima-lah yang selalu mengantarkan pesanan makanan Zora, kapan pun ia datang berkunjung. Ditambah lagi, Ima mengaku bahwa ia adalah pembaca setia halaman puisi dan buku milik Zora.

Zora mengangguk pelan, mempersilakan Ima untuk mengambil piring pastanya yang sudah terlahap habis. Ima tersenyum, lalu menaruh piring itu di nampan dan dengan cekatan membersihkan kotoran yang ada di meja Zora. Zora memperhatikan anak itu, pertanyaan yang selama ini ia tanyakan pada dirinya sendiri setiap kali melihat Ima muncul. Pertanyaan tentang berapakah umur Ima yang sebenarnya. Karena Zora yakin bahwa anak itu lebih muda sekitar satu atau dua tahun darinya, dan dia bisa saja baru lulus dari sekolah menengah atas dan langsung bekerja. Zora bergidik, membayangkan bagaimana rumitnya orang yang seharusnya mengenyam pendidikan lanjut, mau tak mau—dengan pilihannya atau keterpaksaan yang ada—harus memilih untuk terjun langsung dalam dunia kerja yang tak pernah dapat Zora bayangkan rasanya. Karena, Zora belum pernah sampai pada tahap itu, atau mungkin, tak akan pernah. Apa yang ia capai sekarang sudahlah cukup untuk menjadi alasan kenapa ia tak perlu lagi menginjak tahap itu, dengan catatan, jika ia bisa memanfaatkan segala yang ia punya sekarang. Dan juga, jika ia bisa lebih mensyukuri segala bentuk stres dan sakit kepala yang naskah bukunya perbuat. Lembaran-lembaran kertas itu adalah sumber suksesnya. Apa yang ia lakukan adalah hal yang ia gemari, dengan nilai plus; hal itu dapat menghasilkan untuknya.

ZORA | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang