Kalau diberi satu kesempatan untuk bermain dengan waktu, kamu mau ke mana?"
"..."
"Masa lalu? Atau, masa depan?"
"..."
"Memangnya... Kesempatan itu beneran ada?"
***
"Zora, ayo bangun, Nak..."
"Zora..."
Ada sebuah suara yang memanggil namanya. Pening di kepala masih sangat terasa, namun Zora mencoba sekuat tenaga untuk membuka mata. Perlahan, dua kelopak mata Zora terbuka dengan pasti. Sinar mentari memaksa masuk dari jendela yang ada di atasnya, menerpa apa saja yang ada di hadapan Zora saat ini. Dengan pandangan kabur, Zora dapat pastikan bahwa tak ada lagi lampu ruang UGD yang bertengger di atasnya, seperti yang ia lihat terakhir kali sebelum dirinya tak sadarkan diri. Ia belum jelas mengingat apa yang terjadi, dan bagaimana ia bisa ada di tempat ini, keesokan harinya. Gambaran tentang kecelakaan yang ia alami semalam masih terekam jelas dalam memorinya. Hanya saja, setelah mencoba bersikeras mengingat, ia tetap tak bisa mendapat jawaban soal semua yang terjadi pada malam itu setelah operasi berjalan.
"Zora? Ayo bangun! Ini sudah siang."
Kepala Zora bergerak perlahan, menghadap ke arah sumber suara. Betapa terkejutnya dia saat...
"AAAAAAA!"
Zora berteriak setelah mengetahui siapa sosok yang ada di hadapannya. Ia langsung terbangun dari tidurnya dan merangkak menjauhi sosok itu. Pandangannya semakin jelas, dan Zora tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Zora bertanya-tanya apakah dia sudah mati? Dan ini adalah kehidupan setelah kematian? Karena orang yang berdiri menatap bingung di hadapannya adalah... Kakek, yang meninggal enam bulan sebelum Ayah meninggal.
"KAKEK KOK MASIH HIDUP!?"
"Heh, kamu bilang apa?!" teriak Kakek. Ia terkejut dengan apa yang cucu kecilnya katakan.
Zora langsung melihat sekeliling ruangan, dan ia baru menyadari bahwa ruangan itu adalah kamarnya. Secara ajaib ia sudah ada di kamarnya. Nafas Zora semakin berderu kencang. Ia benar-benar tak tahu apa yang terjadi. Dengan tergopoh, ia bangun dari tempat tidurnya. Tak ada rasa nyeri dan pening yang Zora rasakan akibat kecelakaan kemarin. Zora berlari keluar dari kamarnya tanpa menghiraukan Kakek yang kebingungan di samping tempat tidur.
Tepat di depan pintu kamar Zora, sebuah cermin besar tergantung di sana. Saat Zora melintas, betapa terkejutnya dia saat melihat... dirinya. Bukan, bukan dia yang harusnya penuh luka dan perban karena kejadian semalam. Tapi juga bukan dirinya yang utuh seperti yang ia ingat sebelumnya. Itu dirinya sebelas tahun yang lalu. Itu Zora kecil berumur sekitar 10 tahun dengan kulit sawo matang, badan kurus kecil dan rambut berponi tengah. Itu dirinya di masa lampau...
"AAAAAAAAA!"
Zora berteriak lagi, tak kalah kencang. Lantas mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Memperhatikan setiap detail dari tubuh kecilnya yang memang ia pernah miliki, dulu. Pikirannya tak bisa memproses apa-apa. Tangannya menepuk kasar pipinya berkali-kali, berharap ini semua hanyalah mimpi, dan ia akan kembali beberapa saat lagi. Tapi kenapa semuanya jelas sekali? Yang Zora tahu, di dalam mimpi kita tak akan merasakan apa-apa. Tapi beberapa tamparan dari tangan kecilnya sudah cukup menyakiti kedua belah pipinya. Zora jelas sekali merasakan bingung, terkejut, takut di dalam hatinya. Semua rasa itu sungguhlah jelas. Ini bukanlah sebuah mimpi, dan Zora sama sekali tak bermimpi. Semua ini nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZORA | ✓
Художественная проза[Pemenang Wattys Award 2020 kategori New Adult] COMPLETED ✓ Namanya Zora. Dapat berarti fajar, atau, matahari yang terbit dengan indah. Tapi sayang, hidupnya tak seindah namanya. Kehilangan hebat di masa lalu merenggut terang dari dunia Zora, membua...